Makassar – Langkah hukum seorang warga Makassar, Franky Harlindong, membuka babak baru dalam pengawasan etik penegak hukum. Ia melaporkan seorang jaksa peneliti ke Jaksa Agung Muda Pengawasan (JAMWAS) dan Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KOMJAK RI) karena menilai ada dugaan pelanggaran profesionalitas dalam penanganan kasus penipuan online yang ia laporkan di Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sulawesi Selatan.
Dalam dua surat pengaduan bernomor 01/SP-FK/XI/2025 dan 02/SP-FK/XI/2025, Franky menyoroti petunjuk jaksa yang meminta penyidik menyita telepon genggam miliknya. Ia menilai petunjuk itu tidak relevan dan berpotensi menghambat proses pembuktian.
“Barang bukti HP milik pelapor bukan objek tindak pidana, melainkan berisi bukti pendukung yang justru memperkuat laporan saya,” tulisnya dalam pengaduan yang disampaikan Senin 3 November 2025.
Franky menganggap langkah jaksa tersebut melanggar prinsip profesionalitas dan kode etik sebagaimana diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa. Ia menyebut tindakan itu sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan yang dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap objektivitas aparat penegak hukum.
Dalam surat terpisah kepada KOMJAK RI, Franky menguraikan dasar hukum keberatannya dengan merujuk Pasal 14 huruf b KUHAP dan Pasal 110 ayat (2) dan (3), yang membatasi ruang lingkup petunjuk jaksa hanya pada penyempurnaan penyidikan. Ia menegaskan, petunjuk yang diarahkan untuk menyita alat komunikasi pelapor tidak termasuk dalam kewenangan tersebut.
Franky juga menyinggung Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan, yang menegaskan kewajiban jaksa menjunjung tinggi keadilan dan menghindari penyalahgunaan wewenang.
“Jika penyitaan terhadap HP pelapor dianggap perlu, harusnya didasarkan pada surat perintah yang sah dan relevan secara hukum, bukan semata petunjuk administratif,” tulisnya lagi.
Ia meminta JAMWAS dan KOMJAK melakukan pemeriksaan etik serta memberikan rekomendasi sanksi disiplin bila ditemukan pelanggaran profesionalitas. Dalam laporannya, Franky turut memohon perlindungan hukum untuk memastikan dirinya tidak mengalami tekanan selama proses hukum berlangsung.
Kasus Bergulir di Ditreskrimsus Polda Sulsel
Berdasarkan data dalam surat pengaduan itu, kasus dugaan penipuan online yang dilaporkan Franky masih berada pada tahap penyidikan di unit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Sulsel. Kasus bermula dari laporan tindak pidana siber yang menimbulkan kerugian bagi dirinya sebagai korban.
Penyidik telah memeriksa saksi dan mengumpulkan sejumlah bukti digital. Namun, munculnya petunjuk jaksa mengenai penyitaan HP pelapor menjadi titik persoalan baru. Menurut Franky, alat komunikasi itu berisi bukti transaksi dan percakapan dengan pihak terlapor, materi penting yang justru mendukung laporannya.
Kanit Cyber Crime Polda Sulsel disebut telah mengonfirmasi bahwa petunjuk tersebut memang berasal dari jaksa peneliti. Karena itu, Franky kemudian memilih melapor ke dua lembaga pengawas kejaksaan untuk memastikan tidak ada penyimpangan dalam penanganan perkara.
“Saya hanya ingin proses hukum berjalan objektif, transparan, dan tidak menempatkan korban seolah-olah menjadi pelaku,” kata Franky dalam keterangannya.
Melalui langkahnya ini, Franky berharap JAMWAS dan Komisi Kejaksaan dapat mempertegas fungsi pengawasan internal kejaksaan dan memastikan integritas penegakan hukum tetap terjaga. (Eka)