Makassar — Dugaan korupsi proyek penanaman bibit nanas senilai Rp60 miliar di Kabupaten Barru kini tengah ditelaah oleh Bidang Tindak Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan. Proyek hortikultura yang dibiayai oleh APBD TA 2024 itu kembali mencuat setelah sejumlah kelompok mahasiswa menilai penanganannya berjalan lamban.
Perwakilan Kejati Sulsel, Irwan, membenarkan bahwa laporan dugaan korupsi tersebut masih dalam proses kajian internal.
“Kasusnya masih dalam proses telaah oleh bidang Pidsus,” ujarnya saat menerima aksi unjuk rasa mahasiswa di depan Kantor Kejati Sulsel, Rabu (29/10/2025).
Gerakan Mahasiswa Peduli Hukum Sulawesi Selatan (GMPH Sulsel) mendesak agar Kejati menunjukkan transparansi dan integritas dalam proses hukum yang sedang berjalan. Dalam pernyataan sikapnya, mereka menyebut kasus ini sebagai ujian serius bagi lembaga penegak hukum di daerah.
“Kasus dugaan korupsi proyek nanas ini menjadi ujian integritas bagi Kejati Sulsel. Jangan sampai keadilan tumpul ke atas dan tajam ke bawah,” tegas Riyan Saputra, Jenderal Lapangan GMPH Sulsel.
Mahasiswa juga mengingatkan aparat penegak hukum agar berpedoman pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, di mana setiap pihak yang membantu atau turut serta dalam tindak pidana korupsi dapat dijerat dengan hukuman setara pelaku utama. Mereka menilai prinsip lex specialis tersebut adalah bentuk keadilan substantif yang tak boleh diabaikan.
Awal Laporan Mahasiswa ke Kejati Sulsel
Kasus ini bermula dari laporan resmi Garda Aktivis Mahasiswa Indonesia (GAKMI) yang disampaikan ke Kejati Sulsel usai aksi demonstrasi di depan Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan (TPHBUN) Sulsel dan kantor Kejati pada 22 Oktober 2025.
Dalam laporannya, GAKMI menuding proyek pengadaan dan penanaman bibit nanas di Desa Jangan-Jangan, Kecamatan Pujananting, Kabupaten Barru, sarat dengan dugaan penyimpangan. Mereka menemukan indikasi ketidaksesuaian jumlah bibit, proses distribusi yang tidak transparan, hingga kemungkinan mark-up anggaran.
“Dana Rp60 miliar itu adalah uang rakyat, bukan ruang kompromi. Kami mendesak Kejati Sulsel memeriksa semua pihak, termasuk rekanan dan pejabat dinas terkait,” ujar Dhincorax, Jenderal Lapangan GAKMI.
GAKMI menyebut telah menyerahkan sejumlah bukti awal yang dianggap cukup kuat untuk ditindaklanjuti penyidik Kejati. Mereka juga berjanji akan terus mengawal perkembangan kasus tersebut.
“Jika tidak ada langkah nyata, kami akan turun lagi dengan massa yang lebih besar,” kata Dhincorax menutup pernyataannya usai melaporkan kasus tersebut ke Kejati Sulsel. (Eka)