Serikat Pejuang Anti Korupsi (SPASI) turut menanggapi serius ‘nyanyian’ para Komandan Regu (Danru) Satpol PP kecamatan saat bersaksi dalam persidangan perkara korupsi tunjangan operasional Satpol PP Kota Makassar Tahun Anggaran 2017/2020 yang telah mendudukkan Kepala Seksi Operasi dan Pengendalian Satpol PP Makassar tahun 2017-2022, Rahim Dg Nya’la dan Kasatpol PP Makassar tahun 2017-2022, Iman Hud sebagai terdakwa.
Di mana para Danru Satpol PP kecamatan tersebut, ramai-ramai mengaku di depan persidangan terkait adanya uang setoran yang mereka berikan kepada para camat di wilayah tugasnya masing-masing pada masa itu.
Sekretaris Serikat Pejuang Anti Korupsi (SPASI) Damrin Saputra mengatakan bahwa adanya pengakuan saksi demikian dalam persidangan, tentunya itu menjadi fakta hukum.
Hal itu, kata dia, menjadi peluang untuk mengembangkan kasus tersebut, bahwa ternyata ada pihak lain juga yang harus bertanggung jawab karena telah menerima uang, bukan hanya para terdakwa saja.
Dalam hukum, menurut Damrin, itu diistilahkan sebagai perluasan pertanggungjawaban pidana. Di mana ada pihak yang seharusnya dimintakan pertanggungjawaban pidana akan tetapi belum dilibatkan. Sementara perbuatan yang dilarang tersebut benar adanya sebagaimana pengakuan saksi.
“Ini semacam petunjuk, bahwa terbuktinya suatu peristiwa hukum karena terbuktinya peristiwa yang lain. Artinya benar adanya penerimaan uang oleh mereka yang tersebut karena adanya fakta persidangan yang mengatakan demikian,” ucap Damrin saat dimintai tanggapannya, Jumat (12/5/2023).
“Apalagi yang menerima uang misalnya adalah orang yang punya jabatan, orang dianggap terdidik yang seharusnya tahu bahwa penerimaan uang itu adalah sesuatu yang dilarang atau setidak-tidaknya patut menduga bahwa yang diterima adalah keuangan negara yang tujuan peruntukannya telah ditentukan dari awal sehingga tidak boleh disimpangi,” Damrin menambahkan.
Ia mengatakan, jika Kejati Sulsel tidak mengembangkan kasus tersebut sebagaimana adanya fakta persidangan yang dimaksud, maka publik akan menilai bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi tidak konsekuen bahkan akan muncul kesan bahwa siapa-siapa yang hendak dibawa ke bangku pesakitan sebagai pelaku tindak pidana tergantung penegak hukumnya.
“Dengan begitu dapat merusak kepercayaan publik kepada penegak hukum dalam hal penegakkan tindak pidana korupsi, padahal di sana negara telah dirugikan,” ungkap Damrin.
Ia menganologikan kasus tersebut dengan kasus penyelenggaraan Program Kotaku pengentasan kota kumuh di Kota Makassar beberapa tahun lalu.
Pendeknya, seingat Damrin, di dalam persidangan jelas terungkap bahwa ada pihak-pihak yang menerima uang bukan hanya terdakwa tunggal pada waktu itu. Akan tetapi justru pihak-pihak sebagai penanggungjawab pekerjaan atau proyek terungkap dalam persidangan bahwa kelompok masyarakat di tingkat kelurahan sebagai penanggung jawab pekerjaan hampir seluruhnya menerima uang sebagaimana keterangan saksi yang adalah pengawas di dalam kelompok itu.
“Dan pada saat itu tidak ada pengembangan sehingga sedikit menjadi catatan merah bagi penegakan hukum atas tindak pidana korupsi,” ungkap Damrin.
Fakta Persidangan
Sebelumnya, pada sidang perkara tipikor honorarium tunjangan operasional Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Makassar Tahun Anggaran 2017 hingga 2020 di Pengadilan Tipikor Makassar, terungkap fakta persidangan terkait adanya uang setoran yang diberikan oleh beberapa Komandan Regu (Danru) Satpol PP ke para camat.
Danru Satpol PP Kecamatan Makassar, Saleh Mustafa misalnya, di mana dalam persidangan mengaku kurang lebih 10 kali memberikan uang titipan kepada para camat yang menjabat pada waktu itu. Yakni H Ruly, Alamsyah Sahabuddin dan Andi Ardhy Sulham.
Demikian juga Danru Satpol PP Kecamatan Mamajang yang mengungkapkan hal yang sama dalam persidangan. Di mana ia mengaku hampir setiap bulan selama 6 bulan menjadi Danru di Kecamatan Mamajang memberikan uang titipan kepada camat yang menjabat pada waktu itu yakni Fadli Wellang.
Pada sidang sebelumnya yang masih dalam agenda mendengarkan keterangan, turut juga dihadirkan saksi dari Danru Kecamatan Tamalate. Dalam persidangan, ia juga mengakui telah memberikan honor Satpol PP kepada Fahyuddin Yusuf yang saat itu menjabat Camat Tamalate di tahun 2019 dan Hasan Sulaiman Camat di tahun 2020.
Hal serupa juga dikatakan Danru Kecamatan Mariso saat memberikan kesaksian dalam persidangan perkara tipikor Satpol PP tersebut. Dia mengaku juga memberikan honor Satpol PP yang tidak bertugas pada waktu itu kepada Juliaman yang menjabat sebagai Camat Mariso di tahun 2019.
“Semua di atas terungkap dalam persidangan bahwa oknum-oknum camat pada waktu itu sudah sangat jelas keterlibatannya,” akui Muh Syahban Munawir, selaku Kuasa Hukum Terdakwa mantan Kasi Operasional Satpol PP Makassar, Abdul Rahim.
Camat-camat yang disebut tersebut, kata Munawir, juga telah dihadirkan dalam persidangan untuk memberikan kesaksian.
“Mereka mengakui telah melakukan pengembalian kerugian negara,” terang Munawir.
Dengan demikian, ia selaku Kuasa Hukum salah satu terdakwa dalam perkara korupsi Satpol PP Makassar tersebut berharap Kejati Sulsel tidak mengabaikan terlebih lagi mencari alasan untuk tidak menyeret para camat yang dimaksud ke meja hijau dengan status hukum yang sama seperti yang disandang kliennya saat ini.
“Fakta persidangan yang ada sudah sangat jelas mengungkap keterlibatan mereka sewaktu menjabat sebagai camat dan selaku Pengguna Anggaran. Jangan Hukum ini dibuat tumpul ke atas tajam ke bawah,” jelas Munawir.
“Klien kami hanya ingin keadilan, kalaupun ada dugaan penyimpangan dalam kasus Operasional dana satpol, semua yang terlibat ikut diseret dalam meja hijau untuk mempertanggung jawabkan perbuatan mereka,” Munawir menandaskan.
Kronologi
Diketahui, awal penyidikan perkara korupsi honorarium tunjangan operasional Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Makassar Tahun Anggaran 2017 hingga 2020, Kejati Sulsel telah menetapkan 3 tersangka masing-masing Kepala Seksi Operasi dan Pengendalian Satpol PP Makassar tahun 2017-2022, Rahim Dg Nya’la, Kasatpol PP Makassar tahun 2017-2022, Iman Hud serta mantan Sekretaris Satpol PP Makassar tahun 2017-2022, Muhammad Iqbal Asnam yang belakangan dikabarkan meninggal dunia.
Mereka disangka melanggar ketentuan Pasal 2 ayat 1 Jo. Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 KUHPidana.
Perbuatan ketiganya dinilai telah merugikan keuangan negara sebesar Rp4.819.432.500 berdasarkan hasil audit Inspektorat Daerah Provinsi Sulawesi Selatan bernomor: 700.04 /5138/B.V/ITPROV tanggal 1 Desember 2022.
Dalam menjalankan aksinya, para tersangka melakukan modus operandi bermula dari penyusunan hingga pengaturan penempatan personil Satpol PP yang akan bertugas di 14 kecamatan. Namun faktanya sebagian dari petugas Satpol PP yang disebutkan namanya dalam penugasan BKO tersebut, tidak pernah melaksanakan tugas dan anggaran honorariumnya dicairkan oleh pejabat yang tidak berwenang untuk menerima honorarium personil Satpol PP yang dimaksud.
Para Camat Balikin Kerugian Negara Rp3,4 M
Sejumlah eks pejabat kecamatan di Kota Makassar sebelumnya dikabarkan telah mengembalikan dugaan kerugian negara yang ditimbulkan dalam kegiatan pembayaran honorarium fiktif personil Satpol PP untuk kegiatan pengawasan dan pengamanan di sejumlah kecamatan di Kota Makassar terhitung sejak tahun 2017 hingga 2020.
Para eks pejabat kecamatan tersebut diketahui ada yang berperan sebagai Pengguna Anggaran, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) hingga Bendahara Pengeluaran dalam kegiatan yang dimaksud.
“Pengembalian kerugian negara sebesar Rp3,5 miliar lebih,” ucap Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Sulsel, Yudi Triadi melalui Kasi Penyidikan, Hary Surachman dalam keterangan persnya, Rabu 9 November 2022.
Adanya pengembalian kerugian negara tersebut, kata Yudi, merupakan hasil dari kinerja maksimal yang dilakukan oleh Penyidik Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan yang sejak awal turut juga berupaya bagaimana dalam kasus tersebut kerugian negara dapat dipulihkan.
“Alhasil, Penyidik telah menerima pengembalian kerugian dan statusnya itu merupakan uang titipan yang asalnya dari anggaran pembayaran honorarium personil Satpol PP yang diduga fiktif. Nilainya itu, berdasarkan perhitungan Penyidik sebesar Rp3.545.975.000,” terang Yudi.
Kasi Penkum Kejati Sulsel, Soetarmi menjelaskan bahwa penitipan uang tersebut merupakan itikad baik dalam rangka pemulihan kerugian keuangan negara yang sebelumnya telah dikeluarkan dari kas daerah Kota Makassar namun kenyatannya tidak sesuai dengan peruntukannya.
“Uang titipan ini akan disetorkan ke rekening BRI Kanca Panakkukang, yang nantinya akan diperhitungkan sebagai uang pengganti,” jelas Soetarmi didampingi Ketua Tim Penyidik, Herberth P. Hutapea sebelumnya. (Eka)