Kejaksaan Negeri Makassar melalui seksi Pidana Khusus (Pidsus) menyayangkan putusan hakim yang telah menerima gugatan praperadilan yang diajukan oleh tersangka dugaan korupsi penyaluran kredit pada salah satu bank plat merah di Makassar ke Pengadilan Negeri Makassar.
Di mana dalam putusannya, hakim tunggal Pengadilan Negeri Makassar yang menyidangkan perkara tersebut, Johnicol Richard menyatakan mengabulkan seluruhnya gugatan praperadilan yang diajukan tersangka selaku pemohon dan menyatakan tindakan termohon dan penetapan pemohon sebagai tersangka dengan dugaan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP oleh seksi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Makassar adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Selain itu, hakim Johnicol Richard turut memerintahkan kepada termohon praperadilan untuk mengeluarkan pemohon praperadilan dari rumah tahanan negara (rutan) serta memerintahkan kepada termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap pemohon selaku tersangka dan memulihkan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.
“Tentu kami kecewa dengan putusan tersebut dan kami segera mengevaluasi putusan yang ada untuk mempertimbangkan langkah hukum apa selanjutnya yang akan dilakukan,” tegas Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejari Makassar, Syamsurezki dimintai tanggapannya, Jumat 17 Desember 2021.
Ia mengatakan, dalam putusannya, hakim dinilai tidak konsisten dalam mengutip isi dari Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 tahun 2014 tentang kewenangan perhitungan kerugian negara.
“Pada intinya kan hakim ini berpendapat bahwa dalam menentukan kerugian negara, penyidik harusnya mengikuti ketentuan dalam SEMA 4 Tahun 2014. Di mana perhitungan kerugian negara disebutnya haruslah dari pihak BPK atau BPKP. Padahal dalam SEMA yang dimaksud, itu kewenangan perhitungan kerugian negara hanya dibolehkan BPK saja. Inikan hakim juga tidak konsisten mengutip SEMA tersebut,” ungkap Syamsurezky.
Tidak hanya itu saja, Rezki juga mengaku heran. Sebab, menurut dia, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 31 PUU/X/2021 sudah sejak lama mewacana dan dijadikan dasar pertimbangan penyidik dalam menggunakan jasa auditur independen di luar BPK atau BPKP.
“Jadi saya kira putusan ini mengecewakan. Apalagi dalam putusannya kemarin, hakim juga malah meminta kami penyidik untuk menghentikan penyidikan,” tutur Syamsurezky.
Ia mengaku tak habis pikir dengan putusan hakim tersebut, di mana selama ini dalam menangani sejumlah perkara yang bahkan serupa dengan perkara yang menjerat A. Rachmat (pemohon praperadilan), hakim lainnya tidak mempersoalkan penggunaan akuntan publik.
“Dan Alhamdulillah sudah vonis,” ucap Syamsurezky.
Meski demikian, ia mengatakan pihaknya tidak akan patah semangat dalam menyakinkan publik bahwa perkara dugaan korupsi penyaluran kredit pada salah satu bank plat merah di Makassar yang sebelumnya menjerat pemohon sebagai tersangka itu, alat buktinya kuat dan unsur-unsur yang didakwakan telah terpenuhi.
“Kita masih pelajari. Tapi kemungkinan kita akan keluarkan sprindik baru,” tutur Syamsurezky.
Diketahui, pemohon praperadilan, A Rachmat dan dua orang lainnya sebelumnya pada Oktober 2021 telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyaluran kredit tahun 2017-2018 setelah melalui serangkaian penyelidikan dan penyidikan.
Bahkan dalam kasus ini, penyidik Pidsus Kejari Makassar juga mengaku telah mendapatkan hasil perhitungan kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp3 miliar. (*)