Sejumlah lembaga pegiat anti korupsi di Sulsel ramai-ramai mendorong agar mantan Lurah Buloa Ambo Tuo dan Camat Tallo A.U Gypping Lantara menjadi justice collaborator (JC) dalam mengungkap benang merah kasus dugaan korupsi penyewaan lahan negara di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar.
Direktur Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) Kadir Wokanubun mengatakan penting kehadiran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga dalam kasus dugaan korupsi yang telah menjerat Jentang.
“Mantan Lurah dan Camat harus berani bertanggung jawab dan mengajukan dirinya sebagai Justice Collaborator (saksi mahkota) agar kasus Buloa ini terungkap secara terang benderang. Kami yakin lurah dan camat saat itu tahu persis siapa aktor utama dibalik aktifitas yang merugikan negara ini,” ujar Kadir.
Kadir yakin ada intervensi kuat dibalik terbitnya keterangan garapan terhadap area laut yang dikeluarkan oleh mantan Lurah dan diketahui juga oleh mantan Camat pada saat itu.
“Ini yang harus diungkap dan hanya mantan Lurah dan Camat yang mengetahuinya. Kan jelas bahwa terbitnya keterangan garapan diduga atas dasar keterangan tidak benar namun tetap dipaksakan terbit dan diberikan kepada mereka yang sebenarnya tak punya hak untuk itu,” jelas Kadir.
Para warga yang mendapat keterangan garapan, kata Kadir, selain diduga bukan warga yang berdomisili di daerah Buloa, juga memberikan keterangan diduga tidak benar. Dimana mereka mengaku sejak dahulu beraktifitas menjadi petani budidaya rumput laut di area laut buloa.
Padahal, setahu Kadir, di area tersebut sama sekali tak pernah ada aktifitas yang dimaksud. Hal itu dikarenakan letak geografis area yang tidak mendukung aktifitas budidaya rumput laut dan lokasinya dahulu dipenuhi hutan bakau.
“Tak hanya itu, puluhan warga yang mendapat keterangan garapan diketahui merupakan kerabat-kerabat Jentang diantaranya karyawan Jentang yang sama sekali bukan warga setempat. Diantaranya Rusdin dan Jayanti yang sebelumnya jadi tersangka dalam kasus Buloa ini,” ungkap Kadir.
Tak hanya itu, ia juga berharap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera menyupervisi kasus Buloa agar penanganannya dapat maksimal dan mengungkap keterlibatan semua pihak yang ada dalam aktifitas yang merugikan negara tersebut.
“KPK jangan jadi penonton. Kasus ini harus disupervisi total agar dapat terungkap secara utuh,” Kadir menandaskan.
Sebelumnya, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) Firdaus Dewilmar mengungkapkan bahwa dari hasil penyidikan, ditemukan ada puluhan warga yang mendapat hak garapan di area laut Buloa yang diduga kuat berafiliasi dengan Jentang.
“Itu yang kita akan dalami terus dan mendekat ini juga kita akan koordinasi dengan Dirjen Kelautan dan seluruh pihak yang terkait,” ucap Firdaus.
Penahanan Jentang Ditangguhkan Jelang Natal
Penangguhan penahanan yang diberikan Kejati Sulsel secara diam-diam terhadap Soedirjo Aliman alias Jentang, eks buronan dugaan korupsi penyewaan lahan negara di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar terus menuai kecaman sejumlah pegiat anti korupsi di Sulsel.
Salah satunya kecaman dari Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi).
“Kajagung harus segera mencopot Kajati Sulsel. Tindakannya memberikan penangguhan penahanan kepada Jentang sangat melukai perasaan masyarakat Sulsel dan mencederai komitmen pemberantasan korupsi,” tegas Kadir Wokanubun, Direktur ACC Sulawesi.
Ia sangat menyesalkan tindakan Kajati yang telah memberikan penangguhan penahanan terhadap eks buronan yang berhasil ditangkap oleh tim Tabur Intelijen Kejaksaan Agung (Kejagung) bulan Oktober 2019 di persembunyiannya di sebuah Hotel di Jakarta.
“Seharusnya Kajati fokus menuntaskan berkas perkara Jentang agar segera dilimpahkan ke persidangan tipikor. Bukan justru berikan toleransi penangguhan penahanan,” kata Kadir.
Ia mengatakan Jentang tak layak mendapat penangguhan penahanan karena sejak awal berupaya menghalang-halangi proses penyidikan perkara yang menjeratnya. Selain tidak kooperatif memenuhi pemanggilan penyidik pasca ditetapkan jadi tersangka, ia juga sempat buron selama dua tahun lebih.
“Jadi pertimbangan Kajati berikan penangguhan apa coba. Banyak malah tersangka korupsi yang ditangani Kejati, tersangkanya kooperatif tapi tetap dijebloskan ke penjara. Itu yang kami dukung agar ada efek jera dan ketegasan dalam pemberantasan korupsi,” ujar Kadir.
Padahal, ungkap Kadir, perkara yang menjerat Jentang sebagai tersangka juga dikuatkan oleh putusan praperadilan. Dimana dalam putusan praperadilan tersebut status tersangka Jentang dinyatakan sah demi hukum dan diminta segera dilimpahkan perkaranya ke Pengadilan Tipikor untuk segera disidangkan.
“Putusan praperadilan ini harusnya jadi perhatian Kejati Sulsel. Bukannya memikirkan langkah-langkah yang tidak strategis. Masyarakat sangat berharap perkara Jentang segera ada kepastian hukum,” jelas Kadir.
Ia menduga ada niat buruk dalam proses penanganan kasus dugaan korupsi yang menjerat Jentang sebagai tersangka.
“Kalau melihat begini sepertinya ada rencana upaya menghentikan alias SP.3 kasus Jentang ini. Kajagung dan KPK harus segera turun tangan mengawasi dan evaluasi total kinerja Kejati ini,” kata Kadir.
Sebelumnya, Kepala Pengamanan Lapas Klas 1A Makassar, M. Zaini membenarkan jika Jentang telah dilepaskan dari sel titipan Lapas Klas 1A Makassar.
“Dia dapat penangguhan penahanan dari Kejati Sulsel,” singkat Zaini sembari mengatakan yang bersangkutan dikeluarkan dari sel sejak Kamis 12 Desember 2019 malam hari.
Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Firdaus Dewilmar mengatakan soal status penangguhan penahanan Jentang, silahkan tanyakan langsung ke Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) atau langsung cek ke Lapas saja.
“Banyak kasus yang diurus. Itu tanyakan ke Aspidsus saja atau langsung saja ke Lapas,” singkat Firdaus, Jumat 13 Desember 2019.
Tim Kejagung Tangkap Jentang di Hotel
Tim Intelijen Kejaksaan Agung (Kejagung) berhasil menangkap seorang pengusaha ternama asal Kota Makassar, Seodirjo Aliman alias Jentang dalam persembunyiannya di sebuah hotel di daerah Senayan, Jakarta, Kamis 17 Oktober 2019.
Jentang merupakan buronan kasus dugaan korupsi proyek penyewaan lahan negara yang terletak di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar.
Ia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyewaan lahan negara di Kelurahan Buloa, berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Kejati Sulawesi Selatan Nomor : PRINT-509/R.4/Fd.1/11/2018. Dimana dari hasil perbuatannya itu, negara ditaksir telah merugi sebesar Rp 500 juta.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Mukri mengatakan Jentang memilih buron hampir 2 tahun setelah ia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyewaan lahan negara di Kota Makassar
“Jadi yang bersangkutan menghilang sejak ditetapkan sebagai tersangka tepatnya pada 1 Nopember 2017 oleh Kejati Sulsel,” kata Mukri dalam keterangan rilisnya.
Ia mengatakan Jentang merupakan buronan ke 345 yang terdaftar pada program tabur 31.1 Kejagung. Dimana terhitung sejak program tersebut diluncurkan resmi oleh Kejaksaan pada tahun 2018 lalu.
“Dari total buronan yang berhasil tertangkap dalam program tabur 31.1, Jentang merupakan buronan ke 138 yang berhasil tertangkap di tahun 2019 ini,” tutur Mukri.
Usai menangkap Jentang, Tim Intelijen Kejagung langsung menyerahkannya ke pihak Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) guna menjalani proses hukum lebih lanjut.
“Tersangka diterbangkan menuju Makassar untuk menjalani proses hukum selanjutnya,” Mukri menandaskan.
Peran Jentang di Kasus Korupsi Sewa Lahan Negara
Jentang ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi dalam proyek penyewaan lahan negara disertai dengan dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Perannya terungkap sebagai aktor utama dibalik terjadinya kerugian negara dalam pelaksanaan kegiatan penyewaan lahan negara tepatnya yang berlokasi di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar.
Hal itulah kemudian penyidik akhirnya menetapkan ia sebagai tersangka dugaan korupsi disertai tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang juga telah dikuatkan oleh beberapa bukti.
Diantaranya bukti yang didapatkan dari hasil pengembangan fakta persidangan atas tiga terdakwa dalam kasus dugaan korupsi penyewaan lahan buloa yang sebelumnya sedang berproses di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Makassar. Ketiga terdakwa masing-masing M. Sabri, Rusdin dan Jayanti.
Selain itu, bukti lainnya yakni hasil penelusuran tim penyidik dengan Pusat Pelatihan dan Aliran Transaksi Keuangan (PPATK). Dimana dana sewa lahan diambil oleh Jentang melalui keterlibatan pihak lain terlebih dahulu.
Jentang diduga turut serta bersama dengan terdakwa Sabri, Rusdin dan Jayanti secara tanpa hak menguasai tanah negara seolah-olah miliknya sehingga PT. Pembangunan Perumahan (PP) Persero selaku Pelaksana Proyek Makassar New Port terpaksa mengeluarkan uang sebesar Rp 500 Juta untuk biaya penyewaan tanah.
“Nah dana tersebut diduga diterima oleh tersangka melalui rekening pihak ketiga untuk menyamarkan asal usulnya,” kata Jan S Maringka yang menjabat sebagai Kepala Kejati Sulsel saat itu dalam konferensi persnya di Kantor Kejati Sulsel, Rabu 1 November 2017 lalu.
Menurutnya, penetapan Jentang sebagai tersangka juga merupakan tindak lanjut dari langkah Kejati Sulsel dalam mengungkap secara tuntas dugaan penyimpangan lain di seputar lokasi proyek pembangunan Makassar New Port untuk mendukung percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional tersebut.
“Kejati Sulsel akan segera melakukan langkah langkah pengamanan aset untuk mencegah terjadinya kerugian negara yang lebih besar dari upaya klaim-klaim sepihak atas tanah negara di wilayah tersebut ,”tegas Jan.
Atas penetapan tersangka dalam penyidikan jilid dua kasus lahan negara ini, Kejati Sulsel langsung mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rangka koordinasi penegakan hukum.
“Tersangka dijerat dengan Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dan Pasal 3 dan Pasal 4 UU No. 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) ,” ucap Jan.
Kronologi Korupsi Sewa Lahan Negara
Dalam perkara dugaan korupsi penyewaan lahan negara Buloa, sebelumnya telah menetapkan tiga orang terdakwa dan saat ini sedang menjalani proses persidangan di tingkat Kasasi Mahkamah Agung.
Ketiga terdakwa tersebut masing-masing mantan Asisten 1 Pemkot Makassar, M. Sabri, dan dua orang anak buah Jentang yakni Rusdin dan Jayanti.
Keterlibatan pihak lain dalam kasus ini pun terungkap didalam persidangan. Diantaranya ada menyebut keterlibatan owner PT Jujur Jaya Sakti, Soedirjo Aliman alias Jeng Tang Bin Liem Eng Tek, dan laywer senior Ulil Amri.
Dalam berkas dakwaan M. Sabri sendiri menyebut, Jentang dan Ulil hadir di semua pertemuan proses sewa lahan negara tersebut.
Proses terjadinya penyewaan lahan negara disebut terjadi setelah difasilitasi Sabri, yang mempertemukan pihak penyewa PT Pelindo dan PT Pembangunan Perumahan (PP) dengan Rusdin dan Jayanti selaku pengelola tanah garapan.
Bukti keduanya adalah pengelola tanah garapan didasari surat keterangan tanah garapan register nomor 31/BL/IX/2003 yang diketahui oleh Lurah Buloa Ambo Tuwo Rahman dan Camat Tallo AU Gippyng Lantara nomor registrasi 88/07/IX/2003 untuk Rusdin, sementara Jayanti nomor registrasi 30/BL/IX/2003 saksi lurah dan camat nomor registrasi 87/07/IX/2003 dengan luas 39.9 meter persegi.
Pada pertemuan pertama turut dihadiri Jentang selaku pimpinan Rusdin dan Jayanti yang bekerja di PT Jujur Jaya Sakti serta Ulil Amri yang bertindak sebagai kuasa hukum keduanya.
“Pertemuan pertama terjadi pada 28 Juli 2015 bertempat di ruang rapat Sabri selaku Asisten 1. Pada pertemuan itu terjadi negosiasi antara kedua belah pihak,” terang Irma, Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Kemudian lanjut pada pertemuan kedua pada tanggal 30 Juli 2015. Dimana Jentang dan Ulil Amri kembali hadir bersama Rusdin yang bertindak mewakili Jayanti. Dalam pertemuan itu disepakati harga sewa lahan negara Buloa senilai Rp 500 Juta atau lebih rendah dari tawaran Jentang cs yang meminta nilai Rp1 Miliar.
Draf sewa lahan akhirnya disetujui dalam pertemuan berikutnya di ruko Astra Daihatsu Jalan Gunung Bawakaraeng. Dalam pertemuan ini kembali dihadiri oleh Jentang, Ulil Amri dan Rusdin mewakili Jayanti.
Akhirnya pada tanggal 31 Juli 2015 di Kantor Cabang Mandiri, PT PP melakukan pembayaran terhadap Rusdin dan Jayanti yang juga kembali dihadiri oleh Jentang dan Ulil Amri. (Nirwan/Eka)