Lutim— Akademisi Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKIP) Makassar, Jermias Rarsina, menilai pemberitaan terkait sewa lahan antara Pemerintah Kabupaten Luwu Timur dengan PT Indonesia Huali Industrial Park (IHIP) perlu disikapi secara hati-hati dan proporsional. Menurutnya, isu tersebut bukan hanya soal harga sewa yang dinilai murah, tetapi juga menyangkut kepatuhan terhadap prinsip hukum pengelolaan aset daerah.
Pernyataan Jermias ini menanggapi berita salah satu media online lokal di Luwu Timur tanggal 10 Oktober 2025 yang berjudul “Warga Sebut Harga Sewa Lahan yang Diberikan Pemda Luwu Timur ke IHIP Lebih Mahal Harga Sebungkus Indomie.” Dalam laporan itu, masyarakat Lampia, Desa Harapan, mengeluhkan lahan mereka yang disewakan kepada PT IHIP dengan harga yang dianggap tak layak, serta tanpa keterlibatan DPRD Luwu Timur.
Menurut Jermias, langkah pemerintah daerah dalam menyewakan lahan publik kepada investor harus memenuhi ketentuan hukum yang jelas.
“Jika lahan yang disewakan merupakan bagian dari aset daerah, maka pengelolaannya tunduk pada ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, yang telah diubah dengan PP Nomor 28 Tahun 2020,” ujarnya di Makassar, Jumat, 10 Oktober 2025.
Ia menjelaskan, keputusan penyewaan aset daerah tidak boleh dilakukan sepihak oleh kepala daerah tanpa mekanisme evaluasi dan pelibatan lembaga pengawasan.
“Harus ada penilaian nilai sewa oleh lembaga resmi, transparansi dalam proses penentuan harga, serta penyetoran hasil sewa ke kas daerah. Semua ini adalah bentuk akuntabilitas publik,” jelasnya.
Menurut dia, aspek hukum utama yang perlu diperhatikan adalah apakah lahan yang disewakan benar-benar masuk kategori Barang Milik Daerah (BMD). Jika demikian, maka keputusan bupati untuk menyewakan tanah kepada PT IHIP wajib mengikuti mekanisme yang diatur dalam regulasi, termasuk persetujuan DPRD.
“Karena aset daerah itu bukan milik pribadi bupati, tapi kekayaan daerah yang penggunaannya harus bisa dipertanggungjawabkan secara hukum dan administrasi,” tegasnya.
Jermias menilai, ketidaklibatan DPRD sebagaimana disebut dalam pemberitaan menjadi indikator lemahnya koordinasi antar lembaga daerah.
“Kalau DPRD tidak tahu-menahu soal kebijakan sewa lahan ini, maka fungsi pengawasan bisa dikatakan terlewatkan. Padahal, DPRD adalah instrumen kontrol agar kebijakan kepala daerah tidak melenceng dari rambu hukum,” katanya.
Ia menambahkan, bila di kemudian hari ditemukan adanya penyimpangan dalam proses sewa lahan, termasuk potensi kerugian negara, maka kasus tersebut dapat dikaji lebih jauh dalam konteks dugaan tindak pidana korupsi atau pencucian uang.
“Namun penilaian itu harus berdasarkan bukti hukum yang sah, bukan opini publik semata. Prinsip praduga tak bersalah tetap harus dijunjung tinggi,” ujarnya.
Jermias menekankan pentingnya kehati-hatian pemerintah daerah dalam mengambil keputusan yang menyangkut aset publik. Ia menyebut prinsip transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi sebagai dasar pengelolaan aset daerah yang baik.
“Kepala daerah wajib memastikan keputusan yang diambil tidak menimbulkan persepsi sewenang-wenang atau melanggar ketentuan hukum,” tutur Jermias.
Ia pun mendorong agar Bupati Luwu Timur diberikan ruang yang sama untuk menjelaskan duduk persoalan secara terbuka.
“Kita perlu mendengar juga dari pihak pemerintah daerah agar masyarakat mendapat gambaran utuh. Ini bagian dari edukasi publik agar perdebatan hukum bisa berjalan objektif,” ujarnya menutup. (Eka)