Sapma Pemuda Pancasila (PP) Maros menyoroti lambannya penanganan kasus pengrusakan hutan mangrove yang terjadi di wilayah pesisir Bonto Bahari. Ketua Sapma PP Maros, Ahmad Takbir Abadi, menyampaikan keprihatinannya atas belum adanya perkembangan signifikan dalam proses hukum yang tengah berlangsung.
Menurut Ahmad Takbir, hingga Kamis, 10 April 2025, belum ada rilis resmi dari aparat penegak hukum terkait penetapan tersangka dalam kasus ini. Ia menilai keterlambatan ini menunjukkan kurangnya keseriusan dalam menangani kejahatan terhadap lingkungan yang memiliki dampak jangka panjang.
“Kami sangat menyayangkan lambannya proses hukum terhadap kasus pengrusakan lingkungan ini. Sampai hari ini, belum ada rilis resmi mengenai siapa yang bertanggung jawab,” tegas Ahmad dalam keterangannya kepada media.
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa hutan mangrove memiliki peran vital dalam menjaga keseimbangan ekosistem pesisir, mencegah abrasi, dan menjadi habitat berbagai spesies laut. Oleh karena itu, tindakan pengrusakan terhadap kawasan tersebut harus ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku.
Sapma PP Maros mendesak aparat penegak hukum untuk segera mengusut tuntas kasus ini dan memberikan informasi terbuka kepada publik sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas. Mereka juga mengajak masyarakat untuk bersama-sama menjaga kelestarian lingkungan, khususnya hutan mangrove yang menjadi aset penting daerah pesisir.
Sementara itu Ketua Forum Komunitas Hijau Ahmad Yusran meminta para pihak, apalagi masyarakat terkena dampak untuk mengecek legalitas SHM.
Apakah tanah tersebut benar-benar bisa dimiliki perorangan atau termasuk tanah negara (APL/HP yang seharusnya tidak boleh disertifikatkan.
“Verifikasi di BPN Maros untuk memastikan keabsahan sertifikat. Lalu apakah ada dugaan korupsi atau suap dalam penerbitannya? Dan tak kalah pentingnya cek RTRW Maros, apakah wilayah tersebut termasuk kawasan lindung, pesisir atau budidaya,” kata Ahmad Yusran Kamis (10/4/2025).
Langkah hukum bisa diambil, lanjut Yusran, dengan cara melaporkan ke Ombudsman jika ada indikasi maladministrasi di BPN atau pemda.
Kemudian gugatan ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) jika saja SHM yang terbit dianggap merugikan kepentingan umum.
“Bisa juga dengan buat petisi online atau ajukan audiensi ke DPRD Kabupaten Maros untuk mendesak investigasi lebih spesifik. Sebab Dinas Kelautan dan Perikanan Sulsel saja kaget ada SHM di atas air area Mangrove. Lalu ke BKSDA Sulsel, jika masuk kawasan konservasi, sertifikat bisa dibatalkan,” jelas Yusran.(Eka)