Telaah atas UU MINERBA secara teoritis dan praktek
Oleh: Jermias T.U Rarsina Advokat/ Dosen UKI Paulus Makassar.
Banyak orang belum tahu dan memahami mengenai sesungguhnya tanah dalam pengaturan dan pemanfaatannya dalam perspektif hukum agraria yang tidak sekedar menitik beratkan pada lahan pertanian, persawahan atau perkebunan semata.
Jauh lebih penting dan menggiurkan lagi adalah tanah dalam fungsi pengaturan, pengelolaan dan pemanfaatannya di era modern dapat difungsikan dalam tata kelola negara pada kebijakan pemerintah sekaitan dengan investasi tambang.
Berbicara investasi tambang atas kebijakan negara pada lahan tanah secara dimensi hukum agraria, maka oleh negara sendiri telah membuat dan menetapkan regulasinya. Ada banyak regulasi negara atas kebijakan tata kelola tambang di Indonesia. Misalnya saja kita bisa menggunakan regulasi dari UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batu Bara yang telah direvisi dengan UU No. 3 Tahun 2020 sebagai Undang-Undang Minerba yang baru.
Selain UU Minerba juga tidak terlepas dari peraturan hukum mengenai investasi di Indonesia. Kebijakan negara tentang urusan investasi di republik ini sangat bersinergi dengan kewenangan, fungsi dan peran badan usaha negara baik berskala BUMN maupun BUMD dalam tata kelola bisnis secara privat untuk kepentingan pemasukan atau devisa bagi negara. Hal itu berkaitan dengan urusan penanaman modal yang regulasinya telah diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Kalangan umum mungkin banyak yang belum tahu dan memahami mengenai operasional pertambangan yang bersentuhan dengan “Kegiatan Tambang Rakyat”. Jenis pertambangan rakyat telah ditentukan dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, yang telah direvisi dengan UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Kegiatan tambang secara operasional berkaitan dengan izin usaha menurut regulasi UU MINERBA (Mineral dan Batu bara) tidak hanya diberikan kepada BUMN dan sektor badan usaha swasta saja, namun penduduk setempat dan koperasi juga dapat diberikan hak mengusahakan kegiatan pertambangan. Itulah yang disebut dengan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) atau small- scale mining permit.
Berkenaan dengan Izin Pertambangan Rakyat dalam konteks pemberian hak, maka ada tiga (3) klasifikasi yang diberikan kepada penduduk setempat dalam arti perorangan, kelompok dan/ atau koperasi. Negara menunjukan kepada bangsa ini bahwa badan usaha koperasi telah mendapat perhatian akan peluang dan kesempatan dalam pengembangan usaha, khususnya di bidang investasi pertambangan menurut regulasi UU MINERBA.
Namun di balik jaminan hukum tersebut, muncul sebuah pertanyaan. Apakah betul negara serius untuk memperjuangkan koperasi sebagai soko guru perekonomian rakyat dalam memberi peluang dan kesempatan usaha di bidang pertambangan MINERBA sebagai bagian dari kegiatan investasi?.
Rasanya dada akan menjadi sesak bernafas ketika mendengar investasi dalam dunia tambang, apalagi ketika berbicara investasi pada lahan tambang emas, nikel dan batu bara.
Investasi secara hitungan ekonomi pasti memerlukan banyak hal sebagai faktor penunjang atau pendukung yang meliputi modal dan daya kemampuan terhadap money capital, sumber daya manusia dan rasionalitas tenaga kerja yang memadai dan profesional, kapabilitas dan kapasitas dari organisasi/ lembaga usaha, kemampuan memiliki pangsa pasar atau market, bahkan tidak terlepas dari kekuatan birokrasi politik dan pemerintahan sehubungan dengan perizinan dalam kegiatan pengembangan usaha tambang.
Bagi jenis badan usaha BUMN atau BUMD dan sektor swasta lainnya (konglomerasi) yang kuat modal dalam berinvestasi di pertambangan emas, nikel dan batu bara tidak menjadi soal, karena mereka memiliki daya kemampuan untuk itu. Bagaimana dengan badan usaha koperasi yang orentasinya lebih mengarah pada kesejahteraan para anggotanya dengan menggunakan prinsip dari, oleh dan untuk anggota secara demokratis berbasis ekonomi kerakyatan dalam membagi hasil keuntungan.
Tentunya secara teoritis maupun praktik, investasi tambang dalam konteks banding- membanding tata kelola kerja badan usaha dalam memperoleh kesempatan berusaha di bidang pengelolaan usaha tambang antara BUMN atau BUMD dan sektor swasta berbasis konglomerasi (komersial) jauh lebih siap segala- galanya dibandingkan dengan badan usaha koperasi.
Belum lagi ada hal yang paling memprihatinkan yakni lahirnya kebijakan proteksi pengelolaan tambang nikel, batu bara dan beberapa tambang lainnya oleh negara yang mewajibkan badan usaha mempunyai smelter sebagai fasilitas pengolahan hasil tambang.
Regulasi mengenai pembangunan smelter menurut UU MINERBA wajib dilakukan, jika tidak akan dikenai sanksi. Smelter diwajibkan oleh perintah UU MINERBA terbaru sebagaimana diamanatkan dalam pasal 102 dan 103 tidak bisa terelakan. Apalagi semakin diperketat pengaturannya lebih lanjut mengenai pengolahan dan pemurnian hasil tambang diatur dengan PP No.23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan kegiatan Pertambangan Mineral dan Batu Bara beserta peraturan perubahannya (PP No.1 Tahun 2017 perubahan ke 4 atas PP No. 23 Tahun 2010) Jo Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Dalam Negeri Jo Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di dalam Negeri Jo Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 6 Tahun 2017 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Mengenai Hasil Pengolahan dan Pemurnian.
Terlepas akan keberadaan interes hukum dari berbagai regulasi mengenai wajib smelter bagi badan usaha yang mengembangkan dunia usaha di bidang investasi pertambangan, namun secara prinsipnya UU MINERBA juga memberikan tempat dan kesempatan kepada Badan Usaha Koperasi melalui Izin Pertambangan Rakyat (IPR) untuk ikut berkompetisi dalam kegiatan investasi pertambangan.
Hanya sayangnya, daya kemampuan atau kapasitas dari badan usaha koperasi mengenai capital money selaku pihak pemodal dengan menggunakan pola prinsip ekonomi kerakyatan sama sekali tidak berpeluang apapun, jika disandingkan dengan badan usaha BUMN atau BUMD dan pihak swasta konglomerasi lainnya.
Yang rasional sajalah, mana mungkin badan usaha koperasi mampu membangun smelter atau pabrifikasi yang profesional, high class dan mapan untuk mengelola pemurnian hasil tambang untuk diproduksi dan dijual guna memperoleh keuntungan. Sementara di sisi lain untuk mengais uang recehan dari, oleh dan untuk kesejahteraan para anggotanya saja sulit diperoleh dalam pengembangan investasi usaha koperasi.
Coba tunjukan kepada kita sebuah kenyataan berinvestasi pada dunia tambang di Indonesia, di mana koperasi telah mampu mendirikan smelter yang sifatnya profesional, high class dan mapan sebagai tempat pemurnian hasil olahan tambang mineral dan batu bara untuk dimarketkan. Yang konvesionalnya saja dalam tata kelola badan usaha koperasi untuk pengembangan kesejahteraan ekonomi kepada para anggotanya sangat sulit, apalagi berbicara dalam skala parameter profesional.
Betul negara telah memberi kesempatan untuk soko guru perekonomian rakyat Indonesia yaitu badan usaha koperasi dapat berhak hidup dalam dunia usaha pertambangan melalui Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Akan tetapi sesungguhnya hembusan nafas kehidupan tersebut belum memberikan makna hidup yang hakiki dalam persaingan usaha pada dunia investasi tambang mengenai daya kemampuan usaha antara badan usaha koperasi versus BUMN atau BUMD dan sektor swasta lainnya berbasis konglomerasi yang siap untuk mendatangkan laba (keuntungan) yang tak terelakan hitungan nilai ekonominya.
Badan usaha koperasi tetap berhak eksis pada dunia usaha pertambangan karena negara telah memberi regulasi kepadanya melalui UU MINERBA, itu benar adanya. Namun sesungguhnya secara realitas dalam pengembangan dirinya, koperasi tetap mengalami ketertinggalan kompetisi (persaingan) dalam dunia investasi melawan BUMN atau BUMD dan sektor swasta lainnya berbasis konglomerasi.
Cita-cita luhur dari bapak koperasi kita Bung Hatta sampai hari ini masih tetap menangis dan merintih kesakitan, karena sesungguhnya kita telah hidup di alam yang bebas dan merdeka, namun belum tercapainya sebuah harapan yang hakiki dari konsep kesejahteraan rakyat di lapangan Hukum Agraia yang menjadikan koperasi selaku soko guru bagi perekonomian rakyat Indonesia.