Senin pagi, 17 Maret 2025, Eki membawa ayahnya yang terluka parah ke Puskesmas Minasa Upa. Bibir dan dagu robek, rahang patah, darah masih mengalir, keadaannya jelas gawat. Tapi, alih-alih mendapat pertolongan pertama, mereka justru ditolak.
“Faskes BPJS bukan di sini,” begitu alasan yang diberikan petugas. Eki tak menyerah, ia menawarkan pembayaran umum, hanya untuk mendapatkan perawatan darurat. Namun, jawabannya tetap sama ditolak mentah-mentah.
Dengan hati berat, Eki terpaksa mencari rumah sakit lain yang mau menerima ayahnya. Di sana, akhirnya sang ayah mendapat perawatan yang seharusnya bisa diberikan sejak awal. Namun, malam harinya, ketika butuh mengganti perban, Eki kembali ke puskesmas tersebut. Kali ini, ia mendapati puskesmas kosong, meski di depan terpampang tulisan “IGD 24 Jam”.
“Saya hanya ingin mengganti perban ayah saya, tapi tidak ada satu pun petugas di sana,” keluhnya.
Kasus ini bukan hanya tentang satu keluarga yang kecewa. Ini adalah cerminan dari masalah yang lebih besar, lemahnya akses layanan kesehatan darurat bagi masyarakat.
Padahal, menurut Undang-Undang Kesehatan dan UUD 1945, setiap fasilitas kesehatan wajib memberikan pelayanan kepada pasien dalam kondisi gawat darurat, tanpa memandang status kepesertaan BPJS atau faskes yang tertera.
Namun, aturan yang ada di atas kertas tak selalu berjalan di lapangan. Hingga kini, pihak Puskesmas Minasa Upa belum memberikan tanggapan atas keluhan ini. (*/Thamrin)