Akademisi Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKI Paulus) Makassar, Jermias Rarsina berharap konflik atau permasalahan yang terjadi antara masyarakat Tikala, Kabupaten Toraja Utara dengan perusahaan penambang galian C, CV. BD terkait aktivitas penambangan batu di daerah Tikala dapat diakomodir melalui penyelesaian Rapat Dengar Pendapat (RDP) di dewan atau badan legislatif baik di tingkat DPRD Provinsi Sulawesi Selatan atau DPR RI di pusat.
Hal itu, kata Jermias, bertujuan agar penyelesaiannya lebih transparan, obyektif dan akuntabel untuk menilai segala bentuk perbuatan yang telah diambil oleh pejabat berwenang berkenaan dengan tindakan rekomendasi dan persetujuan pemberian izin tambang galian C di Tikala Kabupaten Toraja Utara yang dimaksud.
“Pada prinsipnya berbicara kegiatan pertambangan sesuai regulasinya, minimal kita menemukan 3 hal pokok pendekatan penyelesaiannya terkait terbitnya izin peruntukan dan pemanfaatannya,” ucap Jermias dimintai tanggapannya via telepon, Rabu (9/4/2025).
Dia menjelaskan, ketiga hal tersebut meliputi unsur pengakuan hak atas tanah, kesesuaian tata ruang wilayah dan analisis dampak lingkungan.
“Semuanya tegas diatur dalam ketentuan UU No.3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan Minerba sebagai perubahan terhadap UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Minerba,” jelas Jermias.
Menurutnya, terlepas dari konflik pengakuan hak atas tanah, namun ada hal yang menarik dari kasus hukum tambang galian C di Tikala, Kabupaten Toraja Utara yang dikelola oleh CV. BD. Di mana jika menyimak sejumlah berita dari berbagai media daring, maka ditemukan ada dua fenomena hukum yang wajib diperhatikan mengenai akibat/dampak dari kegiatan penambangan galian C yang dilakukan oleh CV. BD.
Fenomena pertama, sebut Jermias, soal kesesuaian tata ruang wilayah, di mana UU Pertambangan Minerba menegaskan konsep wilayah pertambangan (WP) merupakan bagian dari rencana tata ruang nasional dan berkelanjutan di daerah dalam wilayah negara Republik Indonesia (RI). Wilayah pertambangan (WP) dimaksud, lanjut dia, harus benar-benar memiliki potensi untuk kegiatan peruntukan, pengelolaan dan pemanfaatannya sesuai skala kebutuhan.
Hemat Jermias, wilayah tambang galian C yang diberikan rekomendasi hingga mendapat persetujuan pemberian izin usaha tambang kepada CV. BD, sekali lagi jika titik koordinat wilayah tambangnya berada overlap/tumpang tindih dengan wilayah destinasi wisata situs Arca Batu, maka sudah tentu prosedur dan mekanisme pemberian rekomendasi serta persetujuan izin pengelolaan tambang harus ditinjau kembali untuk dicabut atau ditarik kembali.
“Hal itu penting oleh karena sinergitasnya terkait pada wewenang leading sektor instansi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang memiliki otoritas pengawasan melalui Balai Pelestarian Cagar Budaya, bila di situ ada situs Arca Batu yang wajib dilindungi,” ungkap Jermias.
Dia menyebutkan, secara hukum dengan terbitnya SK Bupati Toraja Utara Nomor: 393/XI/2012 Tentang Penetapan Obyek dan Daya Tarik Wisata di Kabupaten Toraja Utara yang sudah lebih dahulu di tahun 2012, yang bilamana diletakkan titik koordinatnya di atas lahan wisata situs Arca Batu ternyata aktifitas eksplorasi penambangan CV. BD benar terjadi, maka pemberian rekomendasi dan persetujuan izin pengelolaan usaha tambangnya dapat dinilai catat hukum.
Apalagi, lanjut Jermias, jika tidak ada telaah pertimbangan teknis/ pertek tata ruang wilayah mengenai wajib hapusnya status area/wilayah destinasi wisata situs Arca Batu tersebut menjadi Area Peruntukan/Penggunaan Lainnya (APL), dalam hal ini bertujuan untuk area/wilayah wewenang destinasi wisata situs Arca Batu dapat berubah status menjadi kegiatan Investasi penambangan di atasnya.
“Itupun tidak serampangan begitu saja, oleh karena prinsipnya harus/ wajib mendapat kajian dan telaah yang komprehensif dari instansi wewenang terkait satu sama yang lainnya dalam kaitannya dengan wewenang yang telah dahulu ada dan melekat dengan kesesuaian tata ruang wilayah dalam peruntukan, pengelolaan dan pemanfaatannya,” terang Jermias.
Begitu pula, kata dia, jika di atas lahan tambang galian C tersebut ternyata juga terdapat kawasan hutan, maka prinsipnya sama seperti gambaran/ penjelasan di atas yakni status hutan harus diturunkan/dihilangkan menjadi Area Penggunaan/Peruntukan Lain (APL) barulah dialih fungsikan peruntukan, pengelolaan dan pemanfaatannya menjadi lahan tambang galian C.
“Tentu secara hukum sebelum berubah status menjadi Area Peruntukan Lain ( APL), wajib berkoordinasi dengan leading sektor berwenangnya adalah Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup, bila itu masuk dalam wilayah kawasan hutan,” ujar Jermias.
Tindakan hukum, kata dia, dilakukan atas wewenang tersebut dalam kaitannya dengan kebijakan Tata Ruang Wilayah secara nasional yang berintegrasi turun ke Tata Ruang Wilayah di daerah, dan salah satunya adalah Tata Ruang Wilayah Daerah Kabupaten Toraja Utara yang merupakan bagian dari strategi pembangunan nasional di daerah dalam kaitannya dengan persoalan investasi/penanaman modal di bidang pertambangan sebagaimana telah diatur dalam UU timbangan dan turunan aturannya. Hal itu berimplikasi kepada pemanfaatan tata ruang wilayah darat.
Ke semuanya itu, lebih lanjut kata Jermias, dalam perspektif ketentuan Hukum Agraria dalam filosofi dan tatanan normanya, hingga sampai pada konstitusi (UUD Negara RI) memberi proteksi hukum dalam arti luas bahwa bumi, air, ruang angkasa dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dalam konteks negara mempunyai hak mengatur dalam arti pengaturan hubungan hukum terhadap orang perseorangan dan/atau badan/lembaga dalam hubungan satu sama lainnya yang tidak terlepas dari peruntukan, pengelolaan dan pemanfaatan tata ruang wilayah terhadap unsur-unsur agraria (telah disebut di atas) sebagai kekayaan nasional (inti sari singkatnya seperti itu).
Jermias mengatakan, secara regulasi tambang galian C menurut terminologi UU Pertambangan Minerba diartikan sebagai jenis tambang berbatuan, sehingga dari keterkaitan tersebut dapat dimaknai dalam hubungannya dengan konsep pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata bagi pembangunan nasional yang berkelanjutan kepada daerah termasuk di Tikala, Kabupaten Toraja Utara sebagaimana ditegaskan dalam konsideran menimbang huruf b UU Pertambangan Minerba (UU No. 3 Tahun 2020).
“Namun tetap wajib memperhatikan konsep kesesuaian tata ruang wilayah dalam peruntukan, pengelolaan dan pemanfaatannya,” kata Jermias.
Lebih lanjut, kata dia, konsep kesesuaian Tata Ruang Wilayah merupakan hal yang sangat penting karena merupakan faktor penentuan terhadap wewenang menetapkan Wilayah Pertambangan (WP) menurut Pasal 6 UU No. 6 ayat (1) huruf f, yang teknisnya ditetapkan oleh Pemerintah pusat setelah ditentukan area/wilayahnya oleh Pemerintah Daerah Provinsi sesuai wewenangnya.
Hal itu, kata Jermias, berarti kesesuaian tata ruang wilayah untuk menentukan wilayah pertambangan (WP) tidak dianggap sepele begitu saja dalam arti bimsalabim lalu ditetapkan dan ditempatkan statusnya , namun memerlukan kajian yang komprehensif dan cukup relatif panjang prosesnya melalui penyelidikan (bersifat umum), penelitian dan studi kelayakan termasuk sampai pada situasi memitigasi mengenai dampak lingkungan yakni amdalnya, sebagaimana tegas (intinya) diatur dalam Pasal 1 angka 1, angka 16 dan angka 25 UU No. 3 Tahun 22020.
“Itu berarti Pemerintah Provinsi sangat memegang peranan penting tentang hal tersebut yakni penentuan penetapan Wilayah Pertambangan (WP),” ucap Jermias.
Dia mengatakan, jika mencermati secara hukum akan ketatnya regulasi kegiatan berusaha pertambangan sesuai UU Pertambangan Minerba, maka Jermias melihat kompleksitas masalah tambang galian C di Tikala yang dimiliki oleh CV. BD di Kabupaten Toraja Utara akan menimbulkan pertanyaan hukum, benarkah berdiri SK Bupati Torut Nomor: 393/XI/2012 Tentang Penetapan Obyek dan Daya Tarik Wisata tersebut di atas/terletak pada titik koordinat Wilayah Pertambangan (WP) CV. BD? dan selanjutnya benarkah titik koordinat Wilayah Pertambangan (WP)Â CV. BD juga masuk dalam kawasan hutan?
“Baiknya warga masyarakat Tikala bersama Tim Hukumnya dapat membawa kompleksitas permasalahan tersebut ke ranah RDP (Rapat Dengar Pendapat) melalui Dewan/legislator agar semua menjadi transparan, obyektif dan akuntabel terhadap rekomendasi dan persetujuan ijin tambang galian C yang dimiliki oleh CV. BD. Apalagi ada salah satu anggota DPRD Propinsi Sulawesi Selatan telah bersuara dalam menyikapi konflik tambang galian C tersebut,” ujar Jermias.
Menurutnya, seandainya benar telah terjadi overlap/tumpang tindih status lahan Wilayah Tambang berdiri di atas 2 wewenang status berbeda yang jauhnya sudah ada di atasnya yaitu situs Arca Batu dan kawasan hutan, maka secara hukum tidak ada alasan pembenaran hukum apapun untuk melindungi kegiatan tambang galian C tersebut, karena ada dugaan tindak pidana (delik) penyalahgunaan wewenang /jabatan yang berakibat eksistensi dari status destinasi wisata situs Arca Batu dan kawasan hutan menjadi menyimpang dari hakekat status yang sebenarnya, di mana telah ditetapkan lebih dahulu oleh pejabat berwenang (Bupati di masa jabatan tahun 2012) sebelum terbitnya Wilayah Pertambangan (WP) galian C kepada CV. BD untuk memperoleh rekomendasi dan persetujuan izin penambangan.
Kesesuaian tata ruang wilayah untuk menentukan Wilayah Pertambangan/WP galian C kepada CV. BD, kata dia, status haknya berupa area/wilayah destinasi wisata situs arca batu dan Kawasan Hutan belum diturunkan/dihilangkan untuk menjadi wilayah pertambangan galian C.
“Sekiranya fakta hukumnya benar terjadi seperti itu, maka hal itu merupakan pelanggaran dan kesalahan hukum yang sangat fatal dan tidak bisa ditolerir, disebabkan telah terjadi dugaan rekayasa status tata ruang wilayah,” ungkap Jermias.
Perbuatannya, kata dia, cukup beralasan sebagai bentuk dugaan kejahatan/tindak pidana, bukan sekedar pelanggaran adminstrasi karena ada kelalaian sebagai bentuk mala adminstrasi.
“APH (Aparat Penegak Hukum) selaku pihak berwenang bisa segera mengungkapkan kasus hukumnya dalam bentuk kuat dugaan terjadi TIPIKOR karena ada bau penyalahgunaan wewenang, terlepas ada kejahatan dugaan tindak pidana perusakan situs cagar budaya dan/atau pengrusakan kawasan hutan atau cagar alam,” terang Jermias.
Dia mengatakan, akibat hukum dari dugaan perbuatan penyalahgunaan wewenang jabatan tersebut, maka rekomendasi dan persetujuan izin tambang galian C milik CV. BD otomatis sama sekali tidak memiliki legitimasi hukum (cacat hukum), mengingat syarat utama penetapan Wilayah Pertambangan ( WP) dari segi konsep kesesuaian tata ruang wilayah telah bertentangan dengan UU Pertambangan Minerba dan aturan turunan lainnya.
Apalagi, lanjut dia, dalam sejumlah berita yang telah dimuat oleh media daring disebutkan ada fakta bahwa salah satu fasilitas/ sarana penunjang lainnya berupa jalan tambang (hauling) sama sekali tidak dimiliki oleh CV. BD yang mana hal itu wajib dipersiapkan sesuai konsep planing/perencanaan pembangunan pada Wilayah Pertambangan (WP) sesuai kesesuaian Tata Ruang Wilayah.
Belum lagi, sebut Jermias, membahas mengenai kewajiban reklamasi yang merupakan suatu kewajiban untuk menata, memulihkan dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya sebagaimana dipertegas dalam Pasal 1 angka 26 UU No.3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan Minerba.
“Terkait kewajiban ini juga masih dipertanyakan kepada CV. BD sebagai bagian dari sikap/responsibilitinya menyikapi keadaan sosial dan lingkungan masyarakat Tikala/setempat yang berada di sekitar wilayah pertambangan (WP),” terang Jermias.
“Justru sebaliknya berita-berita di media tentang konflik tambang galian C di Tikala terungkap kegiatan penambangan tersebut telah berdampak pada lingkungan yaitu jalan umum warga masyarakat Tikala menjadi rusak karena aktivitas lalu lintas tambang tanpa memiliki jalan tambang (hauling) dan sumber mata air bagi masyarakat Tikala menjadi tercemar,” Jermias menambahkan.
Ia berharap ada sepak terjang selanjutnya dari tim hukum masyarakat Tikala, apakah mau menggunakan hak mereka untuk menggugah kepedulian dewan/legislator dalam fungsi kontrol dan pengawasan melalui jalur RDP (Rapat Dengar Pendapat) untuk menyikapi persoalan tambang galian C di Tikala, Kabupaten Toraja Utara antara warga masyarakat Tikala versus CV. BD.
Segala kemungkinan, ungkap Jermias, bisa saja terjadi, bila dewan/ badan legislator dalam RDP (Rapat Dengar Pendapat) menemukan sejumlah pelanggaran atau kesalahan yang fatal oleh CV. BD yang bertentangan dengan prinsip dasar dan regulasi dari kegiatan usaha pertambangan galian C CV. BD di Tikala, Kabupaten Toraja Utara.
“Besar kemungkinan dewan/legislator dapat bersikap memberikan rekomendasi mencabut izin usaha pertambangan dan merekomendasi untuk memproses secara hukum oknum-oknum yang telah melakukan perbuatan melawan hukum atau kejahatan di bidang investasi tambang yang merugikan negara/Pemerintah daerah setempat,” Jermias menandaskan.
DPRD Sulsel Desak Ketegasan Pemda dan Kepolisian

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulsel, meminta Pemerintah segera mengambil sikap terkait dampak kerusakan lingkungan dan dugaan perusakan situs cagar budaya akibat aktivitas penambangan galian C di Kampung Batu, Kelurahan Tikala, Kecamatan Tikala, Kabupaten Toraja Utara.
Wakil Ketua Komisi C DPRD Sulsel Salman Alfariz Karsa Sukardi, mengatakan tak ada alasan Pemerintah untuk tidak melakukan evaluasi terkait izin operasi tambal galian C di Kampung Batu, Kelurahan Tikala, Kecamatan Tikala, Kabupaten Toraja Utara jika merusak lingkungan dalam aktivitasnya.
“Pemerintah Daerah dan Kepolisian setempat harus segera mengambil langkah kongkret untuk mengevaluasi izin dan dampak lingkungan dari kegiatan tersebut. kalau ditemukan ada pelanggaran terhadap regulasi lingkungan atau izin usaha, maka aktivitas ini harus segera dihentikan,” katanya saat dihubungi melalui via telepon, Senin 7 April 2025.
Anggota DPRD dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan itu mengatakan, evaluasi dan penghentian aktivitas tambang itu dianggap perlu demi menjaga kelestarian lingkungan dan keselamatan masyarakat.
“(Evaluasi izin) demi menjaga kelestarian lingkungan dan keselamatan masyarakat,” pungkasnya.
Ia pula meminta kepada perusahaan tambang untuk memberikan keterbukaan informasi kepada masyarakat setempat terkait aktivitas tambang tersebut
“Selain itu, perusahaan penambang seharusnya memberikan keterbukaan informasi serta keterlibatan masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan terkait aktivitas tambang di wilayah ini,” sebutnya.
Disisi lain, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Sulawesi Selatan, Andi Hasbi Nur meminta Pemda Toraja Utara untuk melakukan kajian ulang terkait Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) dilokasi tambang tersebut.
“Perlu ditanya dulu Tata Ruang (Pemda Torut), kenapa keluarkan persetujuan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR), kalo masyarakat tidak setuju (adanya tambang) PKKPRnya saja dibatalkan, maka semua izin yang dimiliki akan tidak berlaku secara langsung,” katanya.
Tanggapan Anggota DPR Frederik Kalalembang
Anggota DPR RI, Irjen Pol Purn. Frederik Kalalembang meminta Kapolres Toraja Utara segera menghentikan aktivitas tambang galian C yang berada di daerah Tikala, Kecamatan Tikala, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan (Sulsel).
Hal itu disampaikan Frederik melalui surat jawabannya menanggapi aduan masyarakat yang diterimanya melalui
tokoh masyarakat Tikala yakni Prof. DR. Agus Salim, Anthonius T. Tulak, Efran Bima Muttaqin, Andre Salim dan Willyam Carlos Panggeso mengenai permasalahan tambang di Tikala tepatnya terhadap keberadaan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Tambang Batu yang meresahkan masyarakat dan berpotensi dapat menyebabkan bencana tanah longsor dan banjir bandang di Lembang Tikala khususnya dan Kabupaten Toraja Utara pada umumnya.
“Kami sampaikan kepada saudara Kapolres Toraja Utara agar aktivitas tambang tersebut segera ditutup dan dihentikan untuk menghindari gejolak di masyarakat serta guna menghindari terjadinya tanah longsor dan banjir bandang yang akhir-akhir ini sering terjadi di Kabupaten Toraja Utara dan Tana Toraja. Demikian surat ini disampaikan untuk segera ditindaklanjuti,” tegas Frederik melalui surat tanggapannya bernomor 20/JFK-DPR.RI/IV/2025 tertanggal Rabu, 2 April 2025.
Dalam surat tanggapannya itu juga, Frederik menguraikan dugaan terjadinya pelanggaran hukum sekaitan dengan aktivitas tambang galian c berupa tambang batu yang dilaksanakan oleh sebuah perusahaan inisial CV BD.
Di mana, kata Frederik, sejak tahun 2020, CV BD diketahui telah melakukan penambangan batu di daerah Tikala, Toraja Utara, meskipun menurut dugaan pengadu dalam hal ini masyarakat Tikala yang diwakili oleh para tokoh masyarakat Tikala yang disebutkan di atas menyebutkan bahwa wilayah IUP seluas 24,9 hektare atas wilayah tersebut baru terjadi pada tahun 2021.
Masyarakat di Tikala, lanjut dia, mengaku sangat keberatan terhadap aktivitas tambang batu yang dilakukan oleh CV BD tersebut dengan alasan CV BD selaku penambang belum mendapat izin dan belum menyelesaikan kewajibannya kepada pemilik lahan.
“Bahwa CV BD selaku pihak yang diduga melakukan aktivitas penambangan batu, belum mendapat izin dari masyarakat Tikala selaku pemegang hak atas lahan yang menjadi wilayah penambangan batu, itu merupakan fakta yang membuktikan bahwa CV BD belum memenuhi ketentuan hukum yang berlaku yang mewajibkan pemegang IUP untuk menyelesaikan kewajibannya kepada pemegang hak atas tanah yang menjadi wilayah penambangan,” terang Frederik.
Tak hanya itu, kata dia, masyarakat juga mengaku tidak dilibatkan sejak pengurusan perizinan tambang batu, masyarakat Tikala tidak pernah dilibatkan atau tidak pernah diundang untuk menghadiri atau memberikan saran, pendapat dan tanggapan serta proses lain sehubungan dengan proses penyusunan studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagaimana pedoman keterlibatan masyarakat dalam proses AMDAL dan Izin Lingkungan yang diatur saat itu dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup RI No. 17 Tahun 2012 yang kemudian selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Kemudian adanya pengakuan masyarakat juga mengenai pengangkutan batu hasil tambang yang menggunakan akses jalan umum. Di mana truk-truk pengangkut batu hasil tambang selama ini menggunakan akses jalan umum yang selain membahayakan masyarakat yang menggunakan akses jalan umum tersebut juga merusak fisik jalan karena beban yang berlebihan.
Tak sampai di situ, sebut Frederik sebagaimana aduan masyarakat juga menyebutkan bahwa penambangan juga telah merusak kawasan wisata alam.
Lokasi penambangan, menurut masyarakat berada tepat di dalam Kawasan Wisata Alam yaitu Wisata Tongkonan Marimbunna yang ditetapkan berdasarkan SK Bupati No. 393/XI/2012 tentang Penetapan Obyek dan Daya Tarik Wisata di Kabupaten Toraja Utara sehingga aktivitas tambang telah merusak kawasan cagar budaya yang wajib dilestarikan.
Aktivitas Tambang Batu, lanjut Frederik, juga dinilai merusak lingkungan dan berpotensi menyebabkan bencana. Akibat aktivitas tambang batu, maka dapat menimbulkan kerusakan lingkungan dan merusak lahan pertanian masyarakat setempat, sebab lokasi tambang yang berada di hulu sungai Bombo Wai mempengaruhi lahan pertanian warga setempat yang mengandalkan aliran air sungai Bombo Wai sebagai sumber pengairan.
“Potensi banjir dan tanah longsor juga sangat rentan terjadi di musim hujan, juga terdapat cemaran air yang dikonsumsi warga di Barana Kande Api sejak aktivitas tambang baru dilakukan,” kata Frederik ungkap pengaduan masyarakat yang diterimanya.
Dengan mengurai seluruh keberatan masyarakat Tikala tersebut, Frederik menyimpulkan terdapat fakta adanya keresahan di tengah masyarakat akibat aktivitas tambang batu tersebut.
Dia pun meminta Kapolres Toraja Utara agar bersikap tegas menutup aktivitas tambang batu tersebut dengan tujuan agar tidak berkembang menjadi konflik yang dapat merugikan dan mengancam ketertiban dan keamanan.
“Demikian disampaikan untuk segera ditindaklanjuti, atas perhatian dan kerjasama yang diberikan, kami ucapkan terima kasih,” ujar Frederik dalam surat jawabannya menanggapi aduan masyarakat Tikala tersebut. (Eka)