Koordinator Badan Pekerja Komite Masyarakat Anti Korupsi (KMAK) Sulselbar, Djusman AR mengatakan bukan perkara mudah menjadi pegiat antikorupsi.
Karena, menurut dia, prosesnya harus dimulai sejak usia dini, mulai dari lingkungan keluarga, disiplin keilmuan, pengalaman yang matang dan perilaku gaya hidup yang sederhana.
Olehnya, lanjut dia, kunci utama adalah, disiplin waktu mulai dari diri dan merencanakan pemrograman antikorupsi di kalangan mahasiswa. Sebab, kata Djusman, tidak dipungkiri peran mahasiswa dalam memberantas kejahatan korupsi melalui adanya potensi kerugian keuangan negara itu penting.
”Sama pentingnya dengan berorganisasi di dunia kampus yang tak lepas dari
dialektika, estetika dan etika tentang peran mahasiswa dalam perspektif antikorupsi kontemporer,” kata Djusman AR pada latihan dasar kepemimpinan mahasiswa Fakultas Hukum UMI, Rabu (12/2/2025).
Menurut Djusman, dialektika estetika dan etika di lingkup perguruan tinggi itu memberikan perspektif yang holistik dalam memahami peran mahasiswa dalam gerakan antikorupsi.
Melalui pendekatan kreatif dan moral, kata dia, mahasiswa tidak hanya dapat memengaruhi kebijakan publik, tetapi juga membentuk budaya antikorupsi yang berkelanjutan.
Djusman menyebutkan, dalam konteks Indonesia yang masih bergulat dengan masalah korupsi, peran mahasiswa itu adalah sebagai agen perubahan menjadi semakin krusial.
Sebab, kata dia, korupsi tidak hanya merusak sistem ekonomi dan politik, tetapi juga menggerogoti nilai-nilai moral dan etika dalam masyarakat.
Dengan semangat perubahan dan integritas yang tinggi, mahasiswa diharapkan dapat menjadi pionir dalam mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi.
“Karena saya tahu alumninya fakultas hukum UMI luar biasa, dan telah menduduki sejumlah peran penting. Dan tak kalah pentingnya juga dalam memberantas korupsi jangan dilandasi oleh emosi anda,” ujar Djusman.
Melalui pendekatan dialektika estetika dan etika, Djusman berharap mahasiswa dapat menjadi garda terdepan dalam gerakan anti-korupsi, menggabungkan nilai-nilai keindahan (estetika) dan kebaikan (etika) untuk menciptakan perubahan yang berkelanjutan .
‘Estetika dalam gerakan anti korupsi tidak hanya berkaitan dengan keindahan seni, tetapi juga dengan cara pandang dan ekspresi yang dapat memengaruhi kesadaran masyarakat dengan landasan nilai filosofi lokal kita di Sulawesi Selatan, yaitu Taroada Tarogau,” ungkap Djusman.
Sementara itu, Akademisi Fakultas Hukum UMI, DR Mohammad Arief menjelaskan, pendidikan antikorupsi yang terintegrasi dalam kurikulum perguruan tinggi, dapat membantu mahasiswa dalam memahami nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan.
Etika, kata dia, adalah landasan moral yang memainkan peran sentral dalam membentuk karakter mahasiswa yang berintegritas.
“Melalui studi kasus dan diskusi interaktif dapat memperkuat pemahaman mahasiswa tentang dampak korupsi dan pentingnya perilaku etis dalam kehidupan sehari-hari,” ucap Mohammad Arief.
Diketahui dan bukan rahasia umum bahwa tantangan dan strategi peran mahasiswa sangat penting, tantangan seperti kurangnya dukungan institusional dan minimnya kesadaran masyarakat yang masih menjadi hambatan.
Untuk mengatasi hal itu, lanjut Mohammad Arief, diperlukan kolaborasi antara mahasiswa, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat atau pegiat antikorupsi.
“Melalui pendekatan kreatif dan moral, mahasiswa tidak hanya dapat memengaruhi kebijakan publik tetapi juga membentuk budaya antikorupsi yang berkelanjutan,” Mohammad Arief menandaskan. (Thamrin/Eka)