Ombudsman Republik Indonesia (ORI) perwakilan Sulawesi Selatan mengkritisi sikap Kejaksaan Negeri Sidenreng Rappang sehubungan adanya dugaan pelarangan wartawan menggunakan handphone saat meliput.
“Kalau konteksnya wawancara, sepertinya kurang tepat, ,” ujar Ketua ORI Perwakilan Sulsel, Ismu Iskandar saat diminta tanggapan terkait masalah tersebut, Jumat (16/8/2024).
Di mana, menurut dia, handphone saat ini merupakan salah satu alat yang dipakai wartawan untuk meliput berita, sehingga larangan seperti itu tidak dibenarkan, kecuali kegiatannya diluar dari kaidah-kaidah jurnalistik.
“Kecuali dalam kondisi-kondisi khusus yang memang diatur untuk ada pembatasan,” tuturnya.
Hal senada juga dikatakan Ketua Tim Ombudsman RI Sulsel, Muslimin B Putra, bahwa Kejaksaan tidak menghargai profesi wartawan yang bekerja menggunakan handphone.
“Wartawan ini dilindungi UU Pers dalam bekerja, Laporkan Kejari tersebut ke atasannya,” tegas Muslimin.
Sebelumnya pada Rabu, 14 Agustus 2024, dua wartawan media online, Heri dan Darwis, yang berencana mewawancarai Kepala Seksi Intelijen (Kasi Intel) Kejari Sidrap, Muslimin Lagalung, tidak diperbolehkan membawa HP mereka.
“Hari itu, kami ingin mewawancarai Kasi Pidsus Kejari Sidrap karena sudah berkali-kali dihubungi via WhatsApp namun tidak ada respons. Jadi, kami memutuskan untuk mendatangi kantornya langsung, tetapi petugas yang berjaga di pintu masuk gedung Kejari mengatakan bahwa Kasi Pidsus tidak bisa ditemui,” ujar Heri, yang diamini oleh Darwis, Jumat, 16 Agustus 2024.
“Kami diminta menunggu karena hanya Kasi Intel yang bersedia ditemui, namun harus menunggu hingga beliau masuk pukul 10.00. Jadi, kami terpaksa menunggu. Saat itu, jam menunjukkan pukul 09.00 WITA,” lanjut Heri.
“Pukul 10.18, saya kembali bertanya kepada petugas yang berjaga di pintu masuk, saya bilang ini sudah lewat jam 10. Kenapa Kasi Intel belum masuk? Barulah pada pukul 10.48 kami dipersilakan masuk ke ruangan Kasi Intel, dan ternyata beliau sudah ada di dalam,” jelasnya.
“Anehnya, kami tidak diizinkan membawa HP saat bertemu dengan Kasi Intel. Katanya, itulah prosedur di Kejari Sidrap. Kami hanya diberikan kertas HPS dan pulpen, dan wawancara hanya boleh dicatat di kertas, tanpa menggunakan HP,” imbuh Heri.
“Karena sulitnya bertemu pejabat di Kejari Sidrap, saya meminta nomor telepon atau kontak yang bisa dihubungi untuk konfirmasi jika ada pemberitaan yang membutuhkan klarifikasi. Namun, Kasi Intel Muslimin Lagalung bersikeras tidak ingin memberikan kontak tersebut. Terkait hal ini, kami (Heri dan Darwis) berharap agar Kejari Sidrap dievaluasi. Ini menghambat tugas jurnalis dalam mendapatkan informasi,” pungkasnya.
Menanggapi kejadian tersebut, sejumlah aktivis di Sulsel menuding Kejari Sidrap sebagai instansi yang ketinggalan zaman.
Salah satunya adalah Sekjen Lidik Pro, Darwis. Menurut dia, di era digital seperti sekarang, pulpen dan kertas sudah tidak lagi relevan untuk mencatat hasil wawancara.
“Norak sekali, move on dong. Ini sudah era digital, bukan zamannya ‘Siti Nurbaya’. Kalian (pejabat di Kejari Sidrap) adalah pejabat negara yang ditugaskan untuk melayani publik, maka sudah seharusnya kalian memberikan informasi hasil kerja kepada publik melalui media,” kritik Darwis.
“Apa yang kalian sembunyikan di dalam (Kejari Sidrap) sampai-sampai wartawan dilarang membawa HP masuk? Jangan-jangan ada sesuatu di dalam sehingga harus disembunyikan dan tidak boleh difoto,” sindir dia menandaskan. (Thamrin/Eka)