Tim Penyidik Bidang Pidana Khusus (Pidsus) Kejati Sulsel berjanji akan terus memburu keterlibatan pihak-pihak lain yang ikut andil dalam praktik mafia tanah pada kegiatan pembebasan lahan pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo.
“Kasus Paselloreng itu kita sudah menahan 6 tersangka dan tidak menutup kemungkinan ke depannya akan ada tersangka-tersangka baru,” ucap Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Sulsel, Jabal Nur dalam konferensi pers refleksi akhir tahun Kejati Sulsel 2023, Jumat 29 Desember 2023.
Ia mengatakan, ke enam tersangka yang sudah ada sementara dalam tahap pemberkasan oleh Tim Penyidik dan kemungkinan di awal Tahun 2024 akan dilaksanakan pelimpahan tahap satu dan selanjutnya dilimpahkan ke pengadilan.
“Sembari demikian, Penyidik tetap akan dalami dan menggali keterangan yang ada dalam berkas-berkas para tersangka guna mengejar adanya dugaan keterlibatan pihak-pihak lain yang belum tersentuh. Jadi kita akan tetap pendalaman terus ke situ,” terang Jabal.
Dalam penyidikan kasus praktik mafia tanah pada kegiatan pembebasan lahan pembangunan Bendungan Paselloreng tersebut, kata dia, Tim Penyidik juga telah melakukan penyitaan terhadap aset kendaraan para tersangka berupa mobil dan motor yang disinyalir kuat berhubungan dengan kasus yang sedang ditangani.
“Saat ini sudah ada aset 9 unit mobil dan 2 unit motor milik tersangka kita sita dan akan terus kami kejar aset-aset lainnya yang diduga kuat masih ada kaitannya dengan kasus yang prosesnya masih sedang berjalan,” ujar Jabal.
Sebelumnya, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) menetapkan 6 orang tersangka dalam kasus dugaan praktik mafia tanah pada kegiatan pembebasan lahan untuk pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo, Kamis 26 Oktober 2023.
Para tersangka tersebut masing-masing AA selaku Ketua Satgas B pada Kantor BPN Wajo, NU selaku Anggota Satgas B yang merupakan perwakilan masyarakat, NR selaku Anggota Satgas B yang juga perwakilan masyarakat, AN selaku Anggota Satgas B yang merupakan perwakilan masyarakat, AJ selaku Anggota Pelaksana Pengadaan Tanah (P2T) yang juga diketahui menjabat sebagai Kepala Desa Paselloreng, Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo serta JK selaku Anggota Pelaksana Pengadaan Tanah (P2T) yang juga diketahui menjabat sebagai Kepala Desa Arajang, Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo.
“Mereka ditetapkan sebagai tersangka setelah Penyidik mendapatkan minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana yang diatur dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP,” kata Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Sulsel, Soetarmi.
Para tersangka kemudian ditahan selama 20 hari terhitung mulai 26 Oktober 2023 hingga 14 Nopember 2023. Untuk tersangka AA ditahan di Rutan Kelas IA Makassar sementara tersangka lainnya yakni NU, NR, AN, AJ serta JK ditahan di Lapas Kelas 1A Makassar.
“Alasan penahanan karena dikhawatirkan para tersangka ini dapat menghilangkan barang bukti dan alat bukti yang berkaitan dengan transaksi dan pembayaran tanah eks kawasan hutan,” jelas Soetarmi.
Kronologi
Kasus yang menjerat para tersangka bermula pada Tahun 2015. Di mana Balai Besar wilayah Sungai Pompengan Jeneberang (BBWS) kala itu sedang melaksanakan pembangunan fisik Bendungan Paselloreng tepatnya di Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo.
Adapun dalam lokasi pengadaan tanah untuk pembangunan Bendungan Paselloreng tersebut, di antaranya terdapat lahan yang masih masuk dalam Kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT) Laparepa dan Lapantungo yang terletak di Desa Paselloreng, Kabupaten Wajo yang telah ditunjuk oleh pemerintah sebagai Kawasan Hutan HPT.
Selanjutnya dilakukan proses perubahan Kawasan hutan dalam rangka Review Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sulawesi Selatan, salah satunya untuk kepentingan Pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo.
Pada 28 Mei 2019 terbit Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesian Nomor: SK.362/MENLHK/SETEN/PLA.0/5/2019 tentang perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas + 91.337 Ha, perubahan fungsi kawasan hutan seluas + 84.032 Ha dan penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas + 1.838 Ha di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel).
Setelah mengetahui adanya Kawasan hutan yang dikeluarkan untuk kepentingan lahan genangan Bendungan Paselloreng, maka tersangka AA selaku ketua Satgas B dari BPN Kabupaten Wajo itu, memerintahkan beberapa honorer di Kantor BPN Kabupaten Wajo untuk membuat Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (Sporadik) sebanyak 246 bidang tanah secara bersamaan pada 15 April 2021.
Selanjutnya sporadik tersebut, diserahkan kepada tersangka AJ selaku Kepala Desa Paselloreng untuk ditandatangani dan tersangka JK selaku Kepala Desa Arajang turut menandatangani sporadik untuk tanah eks kawasan hutan yang termasuk di Desa Arajang.
Isi sporadik diperoleh dari informasi ketiga tersangka yakni tersangka NU, NR dan tersangka AN selaku anggota Satgas B dari perwakilan masyarakat yang mana isi sporadik yang dimasukkan tersebut, tidak sesuai dengan fakta di lapangan.
Karena 241 bidang tanah tersebut merupakan eks kawasan hutan yang merupakan tanah negara dan tidak dapat dikategorikan sebagai lahan/tanah garapan, maka pembayaran terhadap 241 bidang tanah tersebut mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp13.247.332.000 berdasarkan taksiran perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Sulsel.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan sangkaan primair Pasal 2 Ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke- 1 KUHP atau subsidair Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke- 1 KUHP. (Eka)