Jaksa Penuntut Umum (JPU) Cabang Kejaksaan Negeri Pelabuhan Makassar mengganjar terdakwa dugaan korupsi program kotaku di Kelurahan Malimongan Tua Tahun Anggaran 2018, M. Dahlan dengan tuntutan pidana 3 tahun 6 bulan atau 3,5 tahun, Kamis 1 September 2022.
Jaksa Penuntut Umum, Irtanto Hadi Saputra Rachim dalam pembacaan tuntutannya mengatakan, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan subsidair Pasal 3 Jo Pasal 18 ayat 1 huruf b UU RI Nomor 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dirubah dan ditambah dengan UU RI Nomor 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan ditambah denda sebesar Rp50 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan
“Dan uang pengganti sebesar Rp314.123.773 dengan ketentuan jika terdakwa tak mampu membayar uang pengganti paling lambat 1 bulan sesudah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut,” ucap Irtanto dalam tuntutannya yang dibacakan di depan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Makassar yang dipimpin oleh Ni Putu Sri Indayani selaku Ketua Majelis Hakim.
“Apabila terdakwa juga tidak mempunyai harta benda yang cukup untuk membayar uang pengganti yang dimaksud, maka diganti dengan pidana penjara selama 1 tahun 8 bulan,” Irtanto menambahkan.
Menanggapi tuntutan JPU tersebut, terdakwa dugaan korupsi program kotaku, M. Dahlan melalui Tim Penasehat Hukumnya yang tergabung dalam Kantor Hukum Advokat/ Pengacara Jermias T.U Rarsina, S.H, M.H and Partners mengajukan nota pembelaan (pledoi) yang dibacakan pada Kamis 8 September 2022.
Dalam nota pembelaannya, Tim PH terdakwa mengungkapkan bahwa unsur-unsur dari pasal tuntutan yang diberikan JPU kepada terdakwa yakni Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999, yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah antara lain unsur setiap orang, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, unsur menyalahgunakan wewenang, kesempatan, sarana yang ada padanya karena jabatan/kedudukan dan unsur dapat merugikan keuangan negara atau ekonomi negara, tidak terpenuhi.
Di mana berkenaan dengan unsur-unsur pidana dalam Pasal 3 a quo, maka pertama-tama untuk dapat membuktikan unsur setiap orang dalam arti kedudukan hukum dari terdakwa apakah sebagai subyek hukum yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatan hukumnya sebagai orang pribadi dapat bertanggungjawab terhadap pengelolaan keuangan negara secara seorang diri sebagaimana dalam surat Tuntutan JPU, maka lebih tepat pembuktiannya harus dihubungkan dengan perbuatan melawan hukum menurut ajaran hukum pidana yang disebut wederrechtelijkheid.
Demikian juga tuntutan pidana atas perbuatan terdakwa oleh JPU kaitannya dengan Pengelolaan Keuangan Negara dalam bidang pemerintahan (administrasi negara), khususnya di Kota Makassar pada Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di tingkat Kelurahan in casu Malimongan Tua.
Program Kotaku merupakan Program Pemerintah untuk menetapkan sasaran pembangunan kawasan permukiman guna tercapainya pengentasan permukiman kumuh perkotaan menjadi 0 % (Nol persen) di wilayah kota.
Olehnya itu, langkah strategis dan taktis yang diambil oleh Pemerintah untuk menyikapi hal tersebut adalah melalui dibuatnya Petunjuk Pelaksanaan Program Kotaku pada Direktorat Pengembangan Kawasan Permukiman, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Untuk mewujudkan Program Kotaku, terdapat beberapa tahapan kegiatan di tingkat kelurahan pada Kota Makassar yang meliputi tahap persiapan, tahap perencanaan, tahap pelaksanaan dan tahap keberlanjutan.
Dalam tahap -tahap tersebut, peranan dan tanggung jawab pihak kelurahan in cassu Lurah dan dibantu oleh Fasilitator Kelurahan, Badan Keswadayaan Masyarakat atau Lembaga Keswadayaan Masyarakat (BKM/LKM), yang dibantu oleh Kelompok Keswadayaan Masyarakat (KSM), kesemuanya selaku pelaksana pekerjaan dan Unit Pengelola Sosial (UPS) menjadi tanggung jawab yang dominan dan absolut (mutlak) atas Program Kotaku.
“Jika dikaji secara cermat atau penuh ketelitian, maka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam program Kotaku di Kelurahan Malimongan Tua, jenis pekerjaannya meliputi pemasangan paving blok dan perbaikan jalan, plat penutup dan drainase,” ucap Ahmadi Alwi, salah seorang anggota Tim PH Terdakwa.
Ada penandatanganan kontrak atau Perjanjian Kerjasama tertanggal 23 Juli 2018 antara Ketua LKM Sejahtera dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sebagai dasar hukum dapat dikerjakannya proyek pemerintah a quo.
Artinya secara yuridis tanggung jawab hukum atas kegiatan pelaksanaan pekerjaan yang meliputi pemasangan paving blok dan perbaikan jalan, plat penutup dan drainase, kesemuanya berada dalam wewenang dan tanggung jawab dari Syafar Madjid selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dari Satker di Dinas PU Kota Makassar dan Ketua LKM Sejahtera atas nama M. Nur selaku pihak pelaksana pekerjaan (penerima pekerjaan) yang untuk dan atas kepentingan hukum tersebut dijalankan oleh Ketua KSM Bina Karya selaku penanggung Jawab kelompok kerja Masyarakat di kelurahan Malimongan Tua.
“Harus dipahami dan dihayati dalam kasus korupsi pada prinsipnya tanggung jawab hukum harus berhubungan dengan ada atau tidaknya penyalagunaan wewenang dalam hubungan kenegaraan atau pemerintahan yang telah berdampak pada tanggung jawab pengelolaan keuangan atau ekonomi negara yang sifatnya mendatangkan sesuatu kerugian yang nyata,” terang Ahmadi Alwi.
Tujuannya adalah untuk dapat menentukan siapa-siapa yang bertanggung jawab secara pidana dalam konteks ada hubungan secara administrasi negara/pemerintahan yang memberikan legitimasi (wewenang) hukum sebagai dasar tanggung jawab dalam kategori merupakan subyek hukum yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya memenuhi rumusan unsur pidana.
Dalam hukum administrasi negara, wewenang a quo dapat diperoleh dengan tiga cara, apakah secara atribusi di mana pelaksana progam memperoleh kewenangan asli atau secara langsung diberikan karena perintah undang-undang, delegasi di mana pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya ataukah perolehan wewenang tersebut secara mandat bahwa organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.
“Hal mana penting mengingat bahwa tanggung jawab hukum atas pengelolaan keuangan negara tergantung pada sumber perolehan wewenang dimaksud,” ucap Ahmadi Alwi.
Secara regulasi hukum, baik berdasarkan UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara Jo Peraturan Menteri PUPR No 24/PRT/M Tahun 2016 tentang Mekanisme Pelaksanaan Anggaran Bantuan Pemerintah di Direktorat Jenderal Cipta Karya Jo Peraturan Menteri Keuangan RI No 173/PMK.05/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No 168/PMK.05/2015 tentang Mekanisme Pelaksanaan Anggaran Bantuan Pemerintah pada Kementerian/Lembaga Jo Surat Edaran Dirjen Cipta Karya No: 40/SE/DC/2016 tentang Pedoman Umum Program Kota Tanpa Kumuh Jo Keputusan Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No HL.02.02-CK/188 tanggal 30 April 2018 tentang Penetapan Kelurahan/Desa Sasaran National Slum Upgrading Program (NSUP) tahun 2018 Jo Keputusan Pejabat Pembuat Komitmen Pengembangan Kawasan Pemukiman Berbasis Masyarakat Satuan Kerja Pembangunan Infrastruktur Permukiman Kota Makassar No: 103 /SK/KTK-DINAS PU/V/2018 tanggal 7 Mei 2018 tentang Penetapan Penerima BDI NSUP tahun 2018 Jo Petunjuk Pelaksanaan Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) Tingkat Desa/Kelurahan Tahun 2016 untuk wilayah Kelurahan Malimongan Tua, mulai dari tahap persiapan, perencanaan dan pelaksanaan tanggung jawab hukumnya secara mutlak (absolut) berada pada dua unsur pokok utama,yakni unsur Pemerintah (Administrasi Negara) di satu sisi dan di sisi lain unsur Masyarakat pengguna proyek Program Kotaku in cassu LKM Sejahtera dan KSM Bina Karya.
“Berkenaan dengan penjelasan di atas, maka unsur setiap orang sebagai subyek hukum yang bertanggung jawab secara perbuatan pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada terdakwa Dahlan dalam Surat Tuntutan (requisitoir) JPU dalam hubungannya dengan perbuatan melawan hukum,” jelas Ahmadi Alwi.
“Hubungan hukum berupa wewenang yang melekat pada diri terdakwa hanya sebagai pekerja dalam arti buruh/kuli bangunan, dan itu dibenarkan oleh keterangan saksi Haris dan saksi Kamaruddin bahkan saksi Sjachrir Burhan Eppe selaku Pengawas KSM Bina Karya),” Ahmadi Alwi menambahkan.
Para saksi yang dimaksud semuanya menerangkan bahwa terdakwa Dahlan adalah buruh/kuli bangunan atau pekerja, di mana pekerjaan proyek Kotaku tersebut nyata terdakwa melakukan pekerjaan antara lain mencampur bahan bangunan, mengangkat-angkat besi, memotong besi, membersihkan lokasi dan disuruh membeli bahan/material bangunan dan keterangan tersebut dibenarkan oleh terdakwa.
“Keterangan 3 orang saksi tersebut dibenarkan oleh keterangan terdakwa bahwa terdakwa nyata bekerja sebagai buruh. Demikian juga jika dihubungkan dengan keterangan saksi Nasrawati (Bendahara KSM Bina Karya) yang menerangkan bahwa benar terdakwa setiap kali untuk membeli bahan/material bangunan datang mengambil uang/dana di saksi selaku bendahara KSM Bina Karya, dan untuk kepentingan tersebut atas dasar diperintah (disuruh) oleh Ketua KSM atas nama M. Yakib,” ungkap Ahmadi Alwi.
“Keterangan saksi Nasrawati selaku Bendahara KSM, di muka persidangan bersama-sama dengan saksi M. Yakib dikonfirmasi keterangan mereka berdua, diakui kebenarannya oleh saksi M. Yakib. Hal itu berarti secara hukum kebenaran akan pencairan dana/uang di bendahara KSM untuk pembelian bahan/material bangunan semua atas perintah dari Ketua KSM Bina Karya atas nama M. Yakib,” jelas Ahmadi Alwi.
Fakta persidangan tersebut secara hukum menunjukkan bahwasanya peranan Ketua KSM Bina Karya atas nama M. Yakib sebagai orang yang mengendalikan terdakwa dengan cara memerintahkan terdakwa untuk mencairkan uang/dana untuk kebutuhan membayar gaji/upah buruh dan tukang.
Sehingga secara kedudukan terdakwa berada di bawah pengendalian Ketua KSM yang adalah bagian dari pelaksana pekerjaan dari LKM (Lembaga Keswadayaan Masyarakat) sesuai kontrak kerja proyek pekerjaan program Kotaku Tahun anggaran 2018 ).
Di sisi lain ada fakta persidangan juga terungkap, baik keterangan saksi Bendahara KSM Bina Karya atas nama Nasrawati, saksi M Yaqib (Ketua KSM Bina Karya), saksi M Nur (Ketua LKM Sejahtera) dan Saksi Sjachrir Burhan (Pengawas KSM Bina Karya) serta keterangan terdakwa Dahlan, di mana semuanya mengakui dan membenarkan setiap pencairan uang/dana ada pemotongan fee pekerjaan 10 persen oleh Bendahara KSM Bina Karya, dan itu dilakukan atas arahan serta perintah dari Ketua KSM atas nama M. Yakib.
“Keterangan tersebut diakui kebenarannya oleh M.Yakib, dan fee 10 persen tersebut dibagi-bagikan ke pengurus dan anggota KSM Bina Karya (Kelompok Keswadayaan Masyarakat) dan LKM Sejahtera (Lembaga Keswadayaan Masyarakat), diakui pula oleh saksi Muh Nur HS (Ketua LKM Sejahtera),” terang Ahmadi Alwi.
Secara hukum dalam kasus tindak pidana korupsi, itu berimplikasi pada tata kelola penggunaan anggaran negara, sehingga berdasarkan peraturan perundangan-undangan tanggung jawab penggunaan anggaran wajib hukumnya diserahkan kepada pengguna anggaran sesuai hubungan-hubungan hukum yang tercipta dalam tugas pokok dan fungsinya masing-masing.
Jika merujuk pada nomenklatur penetapan anggaran dan penggunaannya dalam proyek pekerjaan Program Kotaku Tahun Anggaran 2018 di Kota Makassar, maka mekanisme Hirarkhi (tata urutan) sistem tatanan penyelenggaranya adalah terdiri dari tersedianya aggaran negara program Kotaku Tahun Anggaran 2018 di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) cq Direktorat Pengembangan Kawasan Permukiman pada Program Kota Tanpa Kumuh di DIPA Satuan Kerja Infrastruktur Permukiman (Anggaran DIPA) Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2018. Di mana dana/ anggaran tersebut dalam bentuk Bantuan Dana Investasi (BDI)/terlampir dalam berkas perkara JPU.
Selanjutnya dana/anggaran negara BDI tersebut akan dipergunakan sesuai peruntukannya, maka dibuat Surat Keputusan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pengembangan Kawasan Permukiman Berbasis Masyarakat Satuan Kerja Pembangunan Infrastruktur Permukiman Kota Makassar Nomor: 103/SK/KTKDinas PU/ V/ 2018 Tentang: Penerima Bantuan Dana Investasi (BDI) Nasional Slum Upgrading Program (NSUP) Tahun Anggaran 2018, tertanggal 7 Mei 2018.
Berangkat dari dasar hukum penganggaran dan peruntukannya, maka dalam pelaksanaan pekerjaan proyek negara a quo ada kelengkapan Pemerintah di tingkat Kelurahan berupa Fasilitator Kelurahan yang telah diserahkan wewenang sesuai tupoksi masing-masing berdasarkan ketentuan Teknis dan Pelaksanaan Pekerjaan Program Kotaku di Kota Makassar Tahun anggaran 2018.
Kemudian dalam melaksanakan pekerjaannya terdapat dasar yang fundamental yaitu ada Kontrak/Perjanjian kerja antara PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) selaku unsur Pemerintah pemilik pekerjaan dengan LKM (Lembaga Keswadayaan Masyarakat selaku pelaksana pekerjaan (pihak yang mengerjakan proyek negara), yang sudah tentunya memiliki peranan masing- masing sesuai tupoksi.
Setelah semua komponen tersebut telah terbentuk, barulah dalam menjalankan kegiatan pembangunan Progam Kotaku ada para pekerja proyek baik itu terdiri dari tukang dan buruh-buruh lepas harian, yang sama sekali tidak masuk dalam struktur dan sistem tata pemerintahan berkaitan dengan tanggung jawab pengelolaan keuangan negara, yang sekarang ini secara tunggal dalam tuntutan pidana dibebankan kepada terdakwa selaku buruh semata, terlepas dari substansi perbedaan apakah buruh atau tukang atau apa sebenarnya posisi terdakwa.
Secara hukum dari segi tanggung jawab administrasi atau hukum pemerintahan berdasarkan bukti Surat Kontrak/Perjanjian Kerjasama (SPK) Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pengembangan Kawasan Permukiman berbasis masyarakat Satuan Kerja Pembangunan Infrastruktur Permukiman Kota Makassar dengan BKM/LKM Sejahtera No 151.9/SPK/KTK-DINAS PU/VII/2018 tanggal 23 Juli 2018, yang jika dihubungkan dengan kewenangan LKM Sejahtera dan kelompok kerjanya yaitu KSM Bina Karya berdasarkan Petunjuk Teknis dan pelaksanaan Program Kotaku, maka tanggung jawab terhadap pengelolaan keuangan negara menjadi tanggung jawab mutlak/sepenuhnya kepada mereka, barulah dapat menyentuh pihak lainnya termasuk terdakwa Dahlan dalam kategori tanggungjawab pidana bersifat Delneming (penyertaan) in cassu Pasal 55 dan 56 (pembantuan) dalam KUH Pidana.
Dengan memberikan tanggung jawab pidana kepada terdakwa secara tunggal, maka unsur setiap orang, melawan hukum dalam konteks hubungannya dengan unsur kerugian negara tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada terdakwa secara hubungan hukum langsung.
Apalagi Terdakwa mengakui dalam sidang sebagai buruh harian dan didukung oleh keterangan saksi Haris, saksi Kamaruddin maupun saksi Sjahrir Burhan (Pengawas KSM Bina Karya) yang kemudian tidak ada satupun bukti surat tertulis ada perjanjian kerja dari LKM Sejahtera dan/atau KSM Bina Karya kepada terdakwa untuk diserahkan kewenangan menjalankan tanggung jawab sebagai pelaksana pekerjaan.
Namun justru sebaliknya, berdasarkan kontrak/perjanjian kerja terlihat jelas tanggung jawab hukumnya bahwa LKM Sejahtera sebagai Pelaksana pekerjaan yang dijalankan oleh kelompok kerja di masyarakat yaitu KSM Bina Karya. Bukti tersebut menjadi fakta persidangan dan dibenarkan oleh saksi M. Yakib (ketua KSM Bina Karya) dan Saksi M. Nur (Ketua LKM Sejahtera) bahwa merekalah yang sebagai pelaksana pekerjaan, di mana yang menandatangani Kontrak/perjanjian kerja adalah Ketua LKM Sejahtera dengan PPK, dan KSM Bina Karya sebagai kelompok kerja yang mengerjakan proyek negara Kotaku mulai dari mencari buruh atau tukang dengan memberdayakan masyarakat, khususnya di masyarakat setempat in cassu Kelurahan Malimongan Tua.
Kasus korupsi dalam hal tanggung jawab pengelolaan keuangan negara, secara khas atau memiliki ciri kekhususan dalam tanggung jawab pidana terhadap perbuatan terdakwa yang pada intinya tidak boleh terlepas dari unsur wewenang di satu sisi dan administrasi negara (pemerintahan) di sisi lainnya untuk saling terkait tanggung jawabnya.
Jika dihubungkan dengan perbuatan terdakwa, di persidangan terungkap bahwa setiap pembayaran upah kerja (buruh atau tukang) terdakwa pergi mengambil uang di Bendahara KSM Bina Karya atas nama Nasrawati diperintah oleh M. Yakib Ketua KSM Bina Karya, dan setiap mau menyerahkan uang tersebut.
Bendahara berkoordinasi atau mengkonfirmasi ke Ketua KSM Bina Karya mengenai hal itu, dan dibenarkan oleh Ketua KSM bahwa dialah yang memerintahkan terdakwa mencairkan uang untuk kepentingan membayar upah/gaji buruh dan membeli bahan/material bangunan. Sedangkan uang untuk fee 10 persen langsung dipotong oleh Bendahara yang sama sekali tidak diketahui keberadaannya oleh terdakwa.
“Bahwa tanggungjawab pengelolaan keuangan negara dalam konteks kasus korupsi a quo, jika dihubungkan dengan keterangan ahli baik ahli Akuntan Publik dan ahli saksi Bakhrun Silipu, semuanya menerangkan bahwasanya dalam melakukan audit dan mengecek langsung di lapangan yang diminta pertanggungjawaban segala bentuk dokumen/surat-surat dan fisik pekerjaan adalah kepada KSM Bina Karya dan LKM Sejahtera, bukan kepada terdakwa,” ungkap Ahmadi Alwi.
Fakta persidangan juga terungkap dalam Laporan Pertanggungjawaban LKM Sejahtera dan KSM Bina Karya yang diminta kesediaan atau diberitahukan mengenai akan dilakukan proses pengauditan terhadap pekerjaan dan hasilnya, sehingga hadir dalam kegiatan tersebut, bukan terdakwa yang diminta pertanggungjawaban secara wewenang dalam konteks administrasi pemerintahan.
“Betul secara kaidah/norma dalam Pasal 3 ayat (1) UU Tipikor terdapat unsur setiap orang yang dapat dikenakan terhadap pribadi terdakwa, namun secara kasuistisnya harus cermat diletakkan pertanggungjawaban pidananya, mengingat kasus hukumnya adalah tindak pidana korupsi yang erat kaitannya dengan wewenang secara administrasi pemerintahan dalam tanggung jawab pengelolaan keuangan negara, yang secara hukum pidana deliknya berbeda dengan delik umum dalam KUH Pidana sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 374 KUH Pidana mengenai penggelapan uang (misalnya) sehubungan dengan pekerjaan,” tutur Ahmadi Alwi.
Berdasarkan kewenangan yang diserahkan oleh UU yang dikenal sebagai wewenang atribusi, maka berdasarkan UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang jika dihubungkan dengan fungsi administrasi/pemerintahan tata kelola keuangan negara sekaitan dengan Bantuan Dana Investasi (BDI) anggaran DIPA Tahun Anggaran 2018 untuk Program Kotaku di Kota Makassar, maka terdapat surat rekomendasi pencairan uang negara kepada BKM (LKM Sejahtera).
Hal itu secara hukum wewenang administrasi dalam hubungan dengan ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum administrasi dalam hubungannya dengan pengelolaan keuangan negara harus menjadi kohesi (senyawa) atau dengan kata lain tidak boleh dilepas pisahkan antara perbuatan dan wewenang yang diserahkan secara administrasi pemerintahan dalam tanggung jawab pengelolaan keuangan negara.
“Memang benar adanya bahwa sifat hakiki dari pekerjaan proyek negara Program Kotaku adalah memberdayakan masyarakat dalam partisipasi
langsung mengerjakan proyek negara tersebut, namun dari segi pelaksanaannya dan tanggung jawab pengelolaan keuangan negara tidak terlepas dari prinsip penerapan asas kehati-hatian, akuntansi dan akuntabilitas dalam mengerjakan proyek negara Program Kotaku.
Tanggung jawab hukum tersebut, wajib dipertanggungjawabkan kepada pihak pelaksana pekerjaan in cassu BKM/LKM dan KSM di Kelurahan Malimongan Tua, Faskel dan PPK dalam Tupoksi mereka masing-masing,” terang Ahmadi Alwi.
Apalagi fakta persidangan telah terungkap bahwasanya ada pengambilan fee 10 persen oleh pengurus dan anggota LKM sejahtera dan KSM dalam Program Kotaku, sehingga perbuatan melawan hukum tanggung jawab pidananya sangat jelas ditujukan kepada LKM sejahtera dan KSM-nya dari segi tanggung jawab atas keuangan negara.
Terdakwa kedudukan hukumnya tidak dapat dipertanggungjawabkan unsur pidana perbuatan melawan hukum dalam kasus korupsi terhadap diri pribadinya sebagai unsur setiap orang, mengingat tanggung jawab atas keuangan negara yang berimplikasi kerugian tidak ada wewenang pada dirinya dalam hubungan hukum adminstrasi, sebagaimana telah diuraikan panjang lebar di atas.
Cara penuntutan JPU atas diri pribadi terdakwa sekarang ini dengan posisi kasus hukum secara tunggal, dari segi sifat hakikinya hal itu menjadi konteks penggelapan biasa dalam hubungan hukum antara KSM in cassu M. Yakib dalam hal ini penggelapan uang KSM yang ada hubungan pekerjaan/mendapat upah dalam konteks tindak pidana umum, sebagaimana telah diuraikan di atas.
Dalam hukum pidana hubungan hukum yang tercipta antara terdakwa dengan ketua KSM atas nama M. Yakib dalam hubungan dengan tanggungjawab pengelolaan keuangan negara in cassu ada perintah dari M. Yakib kepada terdakwa untuk mencairkan uang negara dapat berlaku keadaan yang disebut manus domina dan manus ministra, di mana syarat tersebut terpenuhi in casu Dahlan selaku terdakwa adalah orang yang berada dalam keadaan tidak mampu memberi bantahan/perlawanan atas suatu perintah/suruhan dari M. Yaqib selaku majikannya sebagai bukan memiliki unsur kesalahan (shuld).
Hal itu terbukti dalam fakta persidangan terdakwa disuruh untuk mengambil uang untuk upah buruh dan membeli bahan material bangunan di bendahara KSM Bina Karya.
Di mana tepat bila terdakwa dalam kapasitas sebagai orang yang berkeja pada proyek negara yang pelaksanaannya di bawah kendali M. Yakib selaku ketua KSM Bina Karya sebagai perpanjangan tangan dari LKM Sejahtera tidak bisa berdaya atas perintahnya M Yakib.
Manus domina dan Manus ministra tersebut yang diperjelas sebagai orang pengendali dan orang yang dikendalikan, seharusnya dalam kasus korupsi a quo unsur perbuatan melawan hukum dan unsur kerugian keuangan negara diletakan pada perluasan tanggung jawab pidana menurut ajaran delneming (penyertaan) sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUH Pidana dalam delik korupsi.
Dengan berdiri sendiri atau tunggal penuntutan pidana dilakukan terhadap diri pribadi terdakwa, maka secara hukum unsur pidana setiap orang, melawan hukum dan kerugian keuangan negara haruslah dinilai tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan terdakwa dalam konteks delik korupsi, sebagaimana didukung dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI dalam Putusan No: 137 K/Kr/1956 Tanggal 1 Desember 1956, kaidah hukumnya berbunyi bahwa: “Orang yang disuruh melakukan tindak pidana (dader/pleger),
tidak dapat dipertanggungjawabkan pidana
padanya secara seorang diri/tunggal, bilamana tidak melibatkan orang yang menyuruh melakukan (doenpeleger)”.
Yurisprudensi tersebut didukung pula oleh Doktrin (Pandangan Ahli Hukum Pidana) antara lain Satochid Kertanegara dan Prof Simons yang tegas kedua-duanya menyatakan bahwa orang yang disuruh melakukan (manus ministra) sebagai kategori melakukan (dader/pleger), tidak bisa dipertanggungjawabkan perbuatannya secara seorang diri, apabila tidak digantungkan kepada orang yang menyuruh melakukan (manus domina) sebagai kategori doenpleger, sebagaimana dimaksud dalam ajaran delneming pada Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP (dikutip dari buku berjudul Asas Teori Praktek Hukum Pidana hal 79-80, (Karangan Ledeng Marpaung, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta 2005).
Hal lain yang tidak kalah penting adalah bahwa filosofi pembentukan ajaran delneming atau penyertaan dalam memorie van toelichting di twee kamer Belanda, menganut ajaran penyertaan yang berdiri sendiri dan tidak berdiri sendiri. Bahkan menurut Pompe semua penyertaan adalah tidak berdiri sendiri, konsekuensi hukumnya adalah sifat asesor kepada peserta lain yang pemidanaannya tergantung kepada pemidanaan orang lain.
Hal itu secara hukum berarti untuk meminta pertanggungjawaban hukum kepada terdakwa Dahlan, wajib hukumnya mengikutsertakan/menarik masuk terlebih dahulu seluruh pelaksana pekerjaan, in casu M. Nur (Ketua LKM Sejahtera), dan teristimewa terhadap M. Yaqib selaku orang yang menyuruh melakukan di mana terbukti dalam fakta-fakta persidangan sebagaimana telah diuraikan di atas. Dengan kata lain, bahwa Penuntutan oleh JPU telah bertentangan dengan Asas Diskriminasi, Asas Keadilan dan Equality before The Law dalam hal meminta pertanggungjawaban pidana terhadap setiap orang berdasarkan ketentuan hukum pidana.
Hal mana seharusnya dalam berkas perkara pendahuluan JPU untuk melakukan penuntutan sejak awal telah ditemukan fakta bahwa KSM dan LKM memperoleh fee 10 persen dari pengerjaan proyek negara a quo, maka seharusnya mereka harus dilibatkan dalam pertanggungjawaban pidana tentang tanggung jawab pengelolaan keuangan negara secara bersama- sama.
“Dengan dilakukannya penuntutan pidana oleh JPU terhadap diri terdakwa Dahlan seorang diri/tunggal tanpa melibatkan LKM dan KSM, maka hemat kami selaku Penasehat Hukum Terdakwa di situlah kesalahan fatal yang mengakibatkan tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana secara delik korupsi mengenai fungsi administrasi negara/pemerintahan atas tanggung jawab pengelolaan keuangan negara dalam proyek kotaku terhadap Dahlan selaku terdakwa,” terang Ahmadi Alwi.
“Lebih tepat terdakwa hanya dapat diminta pertanggungjawaban pidana secara delik umum menurut sifat hakikinya in cassu penggelapan uang belanja bahan material bangunan, kalau memang dari segi perhitungan belanja atas hasil audit ditemukan selisih harga belanja. Namun sebaliknya dalam kenyataan pada fakta persidangan, terdakwa sebagian besar menyangkali kuitansi-kuitansi pembelian bahan material yang sudah disiapkan oleh Bendahara KSM dalam laporan pertanggungjawaban,” Ahmadi Alwi mengungkapkan.
Menurut UU No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 1 angka 12 disebutkan bahwa Pengguna Anggaran (PA) adalah Menteri/Ketua Lembaga bertanggung jawab atas penggunaan anggaran Kementerian/Lembaga (termasuk wajib menatausahakan dan memelihara dokumen).
Menteri/Pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran (PA) dapat menunjuk Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) untuk Satuan Kerja di lingkungan instansi Pengguna Anggaran bersangkutan dengan Surat Keputusan. PA adalah pejabat yang memperoleh wewenang dan tanggung jawab menggunakan anggaran belanja negara yang berada dalam penguasaannya.
Kewenangan PA dapat didelegasikan ke KPA dalam melaksanakan anggaran belanja negara di lingkungan Satuan Kerja Kementerian/Lembaga dengan menunjuk PPK.
Regulasi tersebut jika dihubungkan dengan anggaran negara berupa APBN dalam bentuk DIPA pada Kementerian PUPR yang bersumber dari Bantuan Dana Investasi (BDI) untuk pengentasan wilayah-wilayah kumuh perkotaan di Indonesia melalui Program Kotaku sebagaimana berdasarkan Surat Direktur Pengembangan Kawasan Permukiman Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR yang kemudian diserahkan pengelolaannya kepada Satker PIP (Pembangunan Infrastruktur Pemukiman) Kota Makassar, dan selanjutnya untuk melaksanakan pekerjaan tersebut diserahkan penyelenggaraanya sepenuhnya kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pengembangan Kawasan Pemukiman Masyarakat Satker PIP (Pembangunan Infrastruktur Pemukiman) Kota Makassar.
Secara hukum administrasi negara, itu berarti fungsi pemerintahan berlangsung sesuai regulasi pengaturannya terhadap tata kelola keuangan negara, yang mana untuk mewujudnyatakan program Kotaku dari Pemerintah di kota makassar, maka penyalurannya untuk dapat dimanfaatkan dalam bentuk peruntukan dan penggunaannya kepada masyarakat di Kota Makassar khususnya di kelurahan Malimongan Tua, dilakukanlah kontrak/Perjanjian Kerjasama secara tertulis antara PPK dengan BKM/LKM Sejahtera dalam fungsi penyelenggaran administrasi negara, sekalipun hal itu bersifat hubungan keperdataan karena merupakan perjanjian.
Mengingat UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, terminologi keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut dalam hubungannya dengan pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah, maka tidak dapat ditentukan lain dari padanya bahwa untuk menentukan unsur siapa yang bertanggung jawab, unsur perbuatan melawan hukum menyalahgunakan wewenang yang ada karena jabatan/kekuasaan dan unsur kerugian negara, hanya dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada mereka yang langsung berkaitan atau berhubungan dengan pengelolaan keuangan negara, yang sudah tentunya dari tingkat teratas yaitu Kementerian PUPR, Satker-Satker sampai pada BKM/LKM Sejahtera dan KSM Bina Karya sebagai pelaksana di tingkat kelurahan yang kesemuanya masuk dalam struktur dan sistem tata kelola keuangan negara berdasarkan Pedoman Umum dan/atau petunjuk tekhnis pelaksanaan Program Kotaku baik di tingkat desa maupun di tingkat Kelurahan.
Jika mencemati terminologi keuangan negara dan tata kelolanya baik dari segi reguulasi (kaidah/norma) maupun berdasarkan doktrin/Pendapat Ahli Hukum, pada prinsipnya menegaskan bahwa substansi dari keuangan negara senantiasa hubungannya berfokus pada fungsi administrasi negara dalam tata kelola keuangan negara.
Dengan fakta tidak adanya keterlibatan terdakwa Dahlan dalam struktur Peran Tata Kelola Penyelenggaraan Program Kotaku dalam kasus korupsi a quo, dengan demikian tidaklah tepat atau suatu kekeliruan yang fatal apabila Terdakwa dikatakan sebagai pihak Yang bertanggungjawab dalam Penyelenggaraan Program Kotaku di Kelurahan Malimongan Tua sebagaimana tuntutan (Requisitoir) JPU dalam Surat Tuntutannya yang pada intinya menyatakan bahwa “terdakwa adalah sebagai pihak pelaksana pekerjaan yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan program Kotaku”.
Hal mana baik keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa maupun di dalam Struktur Peran Tata Kelola Program Kotaku sebagaimana termuat dalam Petunjuk Teknis Pelaksanaan Program Kotaku tidak menyebutkan entitas individu sebagai orang atau pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan program.
“Oleh karenanya, individu in cassu terdakwa Dahlan bukanlah pula termasuk sebagai pihak yang terlibat dalam tata kelola keuangan negara,” jelas Ahmadi Alwi.
Apabila fakta-fakta persidangan dalam dugaan tindak pidana korupsi menyangkut Program Kotaku di Kelurahan Malimongan Tua dengan terdakwa tunggal atas nama Dahlan dihubungkan dengan Surat Dakwaan dan/ atau Surat Tuntutan JPU dibuat dalam penalaran hukum dengan metode argumentasi dalam bentuk silogisme, maka terlihat skali kekacauan argumentasi, ketidakvalidan (invalid) atau inkonsistensi dari Surat Dakwaan dan/ atau Surat Tuntutan JPU a quo.
Adapun silogisme dimaksud berbentuk seperti Premis mayor meliputi Pelaksana dan/atau Penanggung Jawab program Kotaku di kelurahan malimongan tua terdiri dari unsur pemerintah dan kelompok masyarakat.
Premis minor meliputi BKM/LKM Sejahtera dan KSM Bina Karya sebagai kelompok masyarakat di kelurahan malimongan tua. Sementara kesimpulan JPU yakni Dahlan adalah Pelaksana dan/atau Penanggung Jawab program Kotaku di kelurahan malimongan tua.
“Pertanyaannya mengapa silogisme di atas tidak valid atau cacat nalar?, Karena dari silogisme di atas tiba-tiba muncul variabel baru atas nama Dahlan dalam kesimpulan sebagai pelaksana dan/atau penanggung jawab program kotaku di kelurahan malimongan tua, yang tidak pernah muncul sebagai proposisi atau term di premis-premis awal baik di premis mayor maupun premis minor,” ujar Ahmadi Alwi.
Hal mana dalam Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum yang berbasis pada logika disebut dengan logical fallacy atau kesesatan berpikir oleh karena tidak terjadi koherensi atau konsistensi antara premis-premis dengan kesimpulan. Logical fallacy atau kesesatan berpikir dari silogisme di atas dalam Logika termasuk ke dalam beberapa bentuk kesesatan sekaligus.
Pertama, Fallacy of Disjuntion, yaitu kekeliruan berpikir terjadi karena mengingkari alternatif pertama, kemudian membenarkan alternatif yang lain di mana mengingkari bahwa BKM/LKM Sejahtera dan KSM Bina Karya sebagai Pelaksana dan/atau Penanggung Jawab program Kotaku di kelurahan Malimongan Tua, namun dengan membenarkan Dahlan sebagai Pelaksana dan/atau Penanggung Jawab program Kotaku di kelurahan malimongan tua.
Kedua, fallacy of Argumentative Leap, yaitu kekeliruan berpikir karena berganti dasar atau karena mengambil kesimpulan yang tidak diturunkan dari premisnya. Jadi mengambil kesimpulan melompat dari dasar semula. (Dikutip dalam buku berjudul LOGIKA, Penulis Mundiri yang diterbitkan oleh Rajawali Pers dalam halaman 191-193).
Seharusnya cara pengambilan kesimpulan yang valid, koheren sehingga dapat diterima oleh akal sehat secara logis adalah Premis Mayor meliputi Pelaksana dan/atau Penanggung Jawab program Kotaku di kelurahan malimongan tua terdiri dari unsur pemerintah dan kelompok masyarakat.
Premis minor meliputi BKM/LKM Sejahtera dan KSM Bina Karya sebagai kelompok masyarakat di kelurahan Malimongan Tua. Sehingga kesimpulan yang benar yakni BKM/LKM Sejahtera dan KSM Bina Karya adalah Pelaksana dan/atau Penanggung Jawab program Kotaku di kelurahan Malimongan Tua.
Dengan demikian BKM/LKM Sejahtera dan KSM Bina Karyalah yang harus bertanggung jawab secara hukum oleh karena sebagai pelaksana dan/atau penanggung jawab pekerjaan di kelurahan Malimongan Tua sehingga tidak error in subjecto dalam surat tuntutan JPU.
“Dengan demikian, kami selaku Tim PH Terdakwa berpendapat hukum bahwa unsur Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tidak terpenuhi, sehingga Terdakwa harus dinyatakan dibebaskan atas tindak pidana yang didakwakan oleh karena tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum (vrijspraak) atau jika Majelis yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara ini berpendapat lain dapat memutuskan menyatakan bahwa ada perbuatan Terdakwa tetapi lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging),” ucap Ahmadi Alwi.
“Dan terhadap Dakwaan Primair Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tidak perlu dibuktikan lagi unsur-unsur tindak pidananya, mengingat dalam dakwaan primair tersebut terdapat kesamaan unsur dengan dakwaan subsidair Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,” Ahmadi Alwi menambahkan.
Ia bermohon agar Majelis Hakim menjatuhkan putusan menyatakan mengabulkan Nota Pembelaan (pledoi) dari Tim Penasehat Hukum Terdakwa, M. Dahlan, menyatakan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana dalam Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam Dakwaan Subsidair Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Dakwaan Primair Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Serta menyatakan merehabilitasi nama baik, harkat dan martabat Terdakwa dalam kemampuan dan kedudukannya seperti sediakala dan memerintahkan Terdakwa agar segera dikeluarkan dari Rumah Tahanan Negara.
“Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono),” Ahmadi Alwi menandaskan.
Kronologi Awal
Cabang Kejaksaan Negeri (Cabjari) Pelabuhan Makassar sebelumnya menetapkan seorang tersangka atas program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) di Kelurahan Malimongan Tua, Kecamatan Wajo, Kota Makassar tahun anggaran 2018.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel yang saat itu dijabat oleh Idil mengatakan, dalam penydikan kasus Program Kotaku di Kelurahan Malimongan Tua Kecamatan Wajo Kota Makassar, penyidik Cabjari Pelabuhan Makassar menetapkan DHL sebagai tersangka yang merupakan pelaksana proyek drainase sebagai Pimpinan Pelaksana kegiatan.
“Penetapan tersangka terhadap DHL setelah Penyidk menemukan dua alat bukti dalam dugaan korupsi keterkaitan dengan proyek Kotaku,” ujar Idil.
Tersangka diduga melakukan tindak pidana korupsi dengan melakukan mark-up harga material. Dari hasil perhitungan kerugian negara ditemukan ada perbedaan harga Rp350 juta rupiah dari total anggaran material sebesar Rp470 juta. Dana yang digunakan hanya Rp120 juta, sehingga terungkap dugaan mark-up terkuak.
Dari hasil pemeriksaan awal alokasi dana yang dimark-up bukan hanya dinikmati tersangka. Akan tetapi ada fee yang diberikan ke beberapa orang, tidak menutup kemungkinan akan ada tersangka lainnya
Total anggaran program Kotaku di Kelurahan Malimongan Tua sebesar Rp.695 juta. Dana tersebut terbagi Rp.470 juta untuk harga meterial dan Rp.225 juta untuk pekerja dengan Panjang drainase yang dibuat 835 meter. (Eka)