Polemik pembebasan lahan Bendungan Paselloreng, Kabupaten Wajo terus bergulir. Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) kabarnya sedang menyelidiki adanya aroma korupsi dalam proses pembayaran ganti rugi pembebasan lahan bendungan yang belum lama ini telah diresmikan oleh Presiden RI, Joko Widodo tersebut.
Sejumlah warga penerima ganti rugi atas pembebasan lahan bendungan pada tahun 2021 serta beberapa anggota panitia pelaksana pengadaan tanah kabarnya juga sudah diperiksa oleh Kejati Sulsel beberapa hari lalu.
“Kita sangat mendukung upaya Kejati Sulsel yang betul-betul bergerak cepat menyikapi polemik pembebasan lahan Bendungan Paselloreng ini. Penyelidikan yang saat ini dilakukan Kejati itu sudah sangat tepat,” ucap Ketua Badan Pekerja Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) Kadir Wokanubun kepada Kedai-Berita.com, Jumat (9/9/2022).
Ia berharap pemeriksaan bisa menyentuh pada semua pihak yang memiliki peran dalam kegiatan pembebasan lahan Bendungan Paselloreng yang belakangan memunculkan polemik. Baik dari awal penetapan lokasi yang diduga tidak mempertimbangkan tekstur lahan, dugaan manipulatif data penerima ganti rugi, jumlah tanaman yang tidak rasional serta masih terdapat beberapa bidang lahan milik warga yang belum terbayarkan ganti ruginya.
“Kejati Sulsel harus periksa dan dalami peran panitia pelaksana pengadaan tanah sekaitan tupoksinya yang ada sebagaimana tertera dalam Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Kabupaten Wajo tentang pengadaan tanah untuk kegiatan pembangunan Bendungan Paselloreng,” jelas Kadir.
Pendalaman terhadap tupoksi panitia pengadaan tanah, lanjut Kadir, merupakan pintu masuk membongkar secara utuh penyebab munculnya polemik pembebasan lahan Bendungan Paselloreng diantaranya adanya dugaan manipulatif data penerima ganti rugi, jumlah tanaman yang tidak rasional serta beberapa bidang tanah milik warga yang kabarnya sudah terendam oleh air bendungan namun tidak menerima ganti rugi secara utuh.

“Dalam kepengurusan panitia pengadaan itu kan ada masing-masing tupoksinya. Tinggal didalami sejauh mana mereka melaksanakan secara profesional tupoksinya tersebut. Yang intinya kami menduga mereka tidak menjalankan tupoksi atau kewenangannya dengan baik, karena itu tadi muncul masalah atau polemik belakangan,” ucap Kadir.
Ia mengungkapkan, dari hasil investigasi ACC Sulawesi di lapangan, ditemukan masih ada beberapa warga penerima ganti rugi belum menerima utuh uang ganti rugi atas lahannya yang telah dibebaskan dalam pembangunan Bendungan Paselloreng bahkan ada juga yang belum menerima sama sekali meski lahannya telah terendam air Bendungan Paselloreng.
“Terlebih lagi kami menemukan fakta lapangan bahwa ada data-data penerima ganti rugi yang sudah menerima sementara mereka diduga tidak ada kaitan hukum dengan objek lahan yang dibebaskan. Mereka diduga membuat sporadik sementara tidak ada riwayat penguasaan lahan sejak awal atau kata lainnya tidak memenuhi syarat administrasi sebagai pemegang sporadik atas objek lahan yang dimaksud,” ungkap Kadir.
Ia juga tak lupa mendesak Kejati Sulsel agar mendalami pihak yang terlibat dalam skenario penetapan lokasi pengadaan tanah untuk kegiatan pembangunan Bendungan Paselloreng, di mana dari hasil investigasi lapangan, ACC Sulawesi menemukan adanya dugaan kejanggalan alias tidak mengkaji lebih dalam minimal meninjau lokasi sebelum menetapkan wilayah/ lokasi pembangunan Bendungan Paselloreng.
“Karena di lapangan kami menemukan banyak wilayah gunung (dataran tinggi) yang dibebaskan hingga dibayar, sementara lahan yang berada di daerah bawah (dataran rendah) sudah terendam oleh air bendungan tapi tidak dibayarkan. Kita temukan ada beberapa bidang lahan warga yang dimaksud sudah terendam tapi belum dibayar sejak 2020 hingga sekarang,” terang Kadir.
Ia meyakini dalam kegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan Bendungan Paselloreng sangat kental tercium aroma korupsi sekaitan dengan dugaan penyalahgunaan wewenangan hingga berpotensi merugikan keuangan negara yang cukup besar.
“Jadi dengan masuknya Kejati Sulsel menyelidiki kasus ini, itu sudah sangat tepat dan kita berharap penyelidikannya berjalan maksimal hingga menemukan kepastian hukum,” ucap Kadir.
Panitia Pengadaan Tanah Potensi Dimintai Pertanggungjawaban

Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI Paulus) Makassar, Jermias Rarsina yang dimintai tanggapannya oleh Kedai-Berita.com mengatakan, sudah sangat tepat jika Kejati Sulsel saat ini tengah menyelidiki polemik pembebasan lahan Bendungan Paselloreng.
Apalagi belum lama ini, ada pertemuan pembahasan terkait polemik pembebasan lahan pembangunan Bendungan Paselloreng yang berlokasi di Desa Arajang, Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo yang diprakarsai oleh Pemerintah Kabupaten Wajo (Pemkab Wajo) dan menghasilkan lima poin.
Poin pertama disebutkan bahwa proses pengajuan pembayaran ganti rugi untuk area yang terdampak pembangunan Bendungan Paselloreng seluas 42,6 hektare dan 64 bidang menunggu verifikasi ulang terhadap bidang tanah yang diindikasi/ diduga bermasalah.
Kedua, diberi tenggang waktu selama sebulan untuk melakukan verifikasi faktual bersama tim pada lokasi yang diduga/ diindikasi bermasalah atau diajukan ke pengadilan untuk mendapat keputusan tetap.
Ketiga, apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dapat dilengkapi, maka proses tetap berjalan sesuai tahapan.
Keempat, bagi bidang tanah yang tidak bermasalah tetap diproses sesuai tahapan dan prosedur.
Serta poin lima yakni akan dibentuk Tim Independen Paselloreng yang beranggotakan BBWSPJ, Kodim, Polres, Kejari, ATR/BPN, pemerintah daerah, pemerintah kecamatan, dan pemerintah desa setempat dan berkedudukan di area Kantor Kecamatan Gilireng.
“Yang menarik ada poin kesepakatan yang menyangkut bahwa proses pengajuan ganti kerugian untuk area yang terdampak pembangunan Bendungan Paselloreng yang seluas 42,6 hektare dan 64 bidang yang belakangan diindikasi/ diduga bermasalah tersebut, justru berpotensi juga terjadi indikasi yang sama pada bidang lahan lainnya yang sudah dibebaskan dan telah dibayarkan ganti ruginya lebih dulu,” ucap Jermias, Senin 15 Agustus 2022.
“Artinya, secara hukum menunjukan bahwa ada sikap keraguan Tim Pengadaan Tanah atas hasil inventarisasi dan identifikasi terhadap data fisik dan data yuridis dalam kaitannya dengan pembayaran ganti kerugian kepada pihak penerima hak atas lahan yang luasannya 42,6 hektare dan 64 bidang yang belakangan diindikasi bermasalah,” Jermias menambahkan.
Selain dalam hubungan hukum tersebut, jauh lebih terpenting lagi adalah tidak boleh ada dokumen atau bentuk surat tanah apapun yang dengan secara sengaja diterbitkan (dibuat) oleh oknum tertentu yang tergabung dalam Kepanitiaan Pengadaan Tanah yang kemudian diberikan kepada orang tertentu dengan tujuan memperoleh ganti kerugian sebagai yang berhak atas tanah, padahal sesungguhnya dia bukan orang yang berhak.
“Jika demikian adanya, maka modus kejahatannya adalah memalsukan dokumen/surat dalam hubungannya dengan data fisik dan data yuridis yang berkaitan dengan obyek tanah dan identitas penerima hak dalam dugaan tindak pidana korupsi pada kegiatan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum,” terang Jermias.
Ia mengatakan, jika nantinya dalam hasil verifikasi ulang kemudian terungkap keadaan yang sebenarnya yakni ditemukan ada kesalahan atau kekeliruan dalam pembayaran ganti kerugian kepada orang yang tidak berhak yang dilatarbelakangi dengan keadaan ilegal sebagaimana telah diuraikan di atas, maka tanggung jawab pidana dalam dugaan tindak pidana korupsi tidak bisa terelakan lagi dan dibebankan kepada Panitia Pengadaan Tanah.
Perbuatan pidana, kata Jermias, dianggap telah selesai atau terwujud sebagai dugaan delik korupsi oleh karena uang negara telah dipergunakan oleh Panitia Pengadaan Tanah untuk membayar ganti kerugian dianggap sebagai salah bayar.
“Tafsiran hukumnya adalah telah terjadi dugaan perbuatan melawan hukum berupa penyalahgunaan kewenangan oleh aparatur negara yang berakibat mendatangkan kerugian keuangan negara,” jelas Jermias.
Hal itu sudah tentu berimplikasi kepada negara. Di mana negara dikenakan kewajiban membayar dua kali, yang terakhir kepada orang yang tepat sebagai pihak yang berhak menerima uang pembayaran ganti kerugian sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 40 UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Perbuatan Panitia Pengadaan Tanah dalam konteks hukum adminitrasi/ pemerintahan sehubungan dengan larangan menyalahgunakan wewenang menurut UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) Jo Pasal 17 ayat (2) huruf a Jo Pasal 18 ayat (1) huruf c yaitu larangan atas perbuatan yang bertentangan atau melanggar Peraturan Perundang-undangan.
“Dalam hal ini tidak boleh menyalahi tata cara atau prosedural UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan peraturan turunan lainnya,” tutur Jermias.
Perbuatan penyalahgunaan wewenang tersebut, sangat korelatif dengan regulasi UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 3 (contoh Umum selain masih ada norma hukum lainnya dalam UU Korupsi) mengatur mengenai perbuatan melawan hukum menyalagunakan wewenang dalam jabatan atau kedudukan yang dapat mengakibatkan negara mengalami kerugian keuangan atau ekonomi.
Segala kemungkinan berpotensi bagi Panitia Pengadaan Tanah sehubungan dengan kegiatan pembangunan proyek Bendungan Paselloreng dapat dimintai pertanggung jawaban pidana dalam delik korupsi, jika nantinya terungkap fakta hukum bahwa terjadi salah bayar uang negara kepada pihak yang tidak berhak karena ada kesalahan oknum.
“Maka secara hukum tanggung jawab Panitia Pengadaan Tanah bersifat kolektif atas terbayarnya uang negara sebagai ganti kerugian kepada pemegang hak atas tanah yang berhak. Sehingga apapun alasannya, Panitia Pengadaan Tanah wajib bertanggung jawab secara hukum,” Jermias menandaskan.
Warga dan Kades Arajang Turut Diperiksa
Beberapa warga pemilik lahan yang masuk dalam wilayah pembebasan lahan Bendungan Paselloreng kabarnya telah memenuhi panggilan dan telah memberikan keterangan di Kejati Sulsel
“Sudah banyak yang dimintai keterangannya oleh Kejaksaan Tinggi Sulsel, termasuk saya dan Pak Desa Arajang tadi,” kata inisial AI, seorang warga Desa Paselloreng, Selasa 6 September 2022.
Selain AI, Kejati Sulsel turut memeriksa beberapa warga lainnya yang kabarnya sempat menerima sebagian uang ganti rugi atas lahannya yang masuk dalam wilayah pembebasan pembangunan Bendungan Paselloreng pada tahun 2020 hingga 2021.
“Iye, yang diperiksa tadi juga ada Ibu Andi Muri. Itu istrinya Pak Andi Akhyar (Kasi Pengadaan Tanah ART/BPN Wajo), ada juga dua orang anaknya sama dua orang saudaranya Andi Muri,” tutur AI.
Di Kejati Sulsel, AI menjelaskan seputar lahannya yang masuk dalam wilayah pembebasan dan bahkan sudah ada yang tenggelam oleh air Bendungan Paselloreng namun hanya sebagian yang diterima ganti ruginya bahkan beberapa bagian lainnya sama sekali belum dibayarkan.
Diantaranya, lahan kebun yang ada di Desa Paselloreng tepatnya di Lompok Panasa Lupae seluas kurang lebih 70 are yang masuk dalam pembebasan, tapi yang dibayarkan baru 22 are yaitu senilai Rp115 juta lebih. Sedangkan selisih luas lahan sampai sekarang belum terbayarkan.
Kemudian mengenai lahan yang berada di Lompok Laponcing Desa Paselloreng yakni seluas kurang lebih 1 hektare. Di mana yang dibayarkan baru 47 are dengan nilai Rp468.911.305. Selisih luas lahan juga sampai sekarang belum terbayarkan ganti ruginya.
Tak hanya lahan yang berada di Desa Paselloreng, lahan kebunnya seluas kurang lebih 2 hektare yang sudah tenggelam oleh air Bendungan Paselloreng, juga sama sekali belum dibayarkan ganti ruginya.
“Pernah mau dibayar cuma 6 are sebesar Rp56.000.000 tapi saya tolak. Jadi sama sekali tidak ada pembayaran ganti rugi. Lahanku kurang lebih 2 hektare itu sudah tenggelam air Bendungan Paselloreng tapi tidak diganti rugi sampai sekarang,” terang AI.

Ia mengaku heran dengan pertimbangan pihak panitia pengadaan lahan utamanya terkait dengan penetapan lokasi pembebasan lahan pembangunan Bendungan Paselloreng. Di mana daerah gunung (dataran tinggi) masuk dalam pembebasan dan telah diganti rugi. Sementara daerah dataran rendah kabarnya tidak masuk dalam wilayah pembebasan.
“Tapi justru kena dampak dan lahan di bawah (dataran rendah) tenggelam oleh air Bendungan Paselloreng. Gunung di atasnya justru sudah dibayar ganti ruginya tapi lahan yang ada di bawah tidak dibayar dan sudah tenggelam oleh air bendungan. Termasukmi lahanku ini yang ada di bawah dan sudah tenggelam tapi sampai sekarang tidak diganti rugi,” ungkap Ai.
“Semoga dengan ditanganinya masalah ini oleh Kejaksaan, hak kami bisa segera didapatkan. Apa yang saya ungkap tadi, semua saya sudah bilang ke Pak Jaksa yang periksa saya tadi,” jelas AI.
Ia nantinya berencana akan mengungkapkan kembali cerita lahan miliknya yang lain yang hingga saat ini juga bernasib sama ketika dipanggil kembali oleh Kejati Sulsel.
Lahannya masuk dalam pembebasan, tapi ganti ruginya belum dibayarkan utuh. Lahan itu berada di Desa Arajang tepatnya bernama Lompok Awokawoe.
“Ada dua bidang lahan saya di situ yang dibebaskan, tapi masing-masing bagian hanya sebagian luasannya yang diganti rugi,” kata AI.
Lahan yang luasannya kurang lebih 2 hektare, hanya 1,5 hektare yang dibayar senilai Rp541.148.000. Selisih luas lahan yang tersisa sampai sekarang belum dibayar dan lahan tersebut juga sudah tenggelam oleh air Bendungan Paselloreng.
“Pernah dari total sisa lahan yang belum dibayar mau dibayar oleh panitia, tapi itu juga hanya 78 meter persegi. Sementara sisa lahan masih ada tersisa sekitar 50 are. Jadi saya tolak waktu itu dan sampai sekarang tidak ada pembayaran ganti rugi sisa lahanku itu,” ungkap AI.
Selanjutnya, juga ada sebidang lahan di lompok yang sama dengan luasan kurang lebih 1 hektare. Diganti rugi oleh Panitia Pengadaan Tanah pembangunan Bendungan Paselloreng hanya seluas 30 are yakni senilai Rp215.498.000.
“Sisa luasan lahan sampai sekarang juga tidak dibayarkan ganti ruginya. Yang dibayar baru 30 are pada 2 Juni 2020,” ucap AI sembari memperlihatkan bukti catatan pembayaran ganti rugi sebagian lahannya yang dimaksud.
“Insya Allah kalau ada pemanggilan berikutnya oleh Kejaksaan, saya akan bicara juga yang itu,” AI menambahkan.
Kepala Desa Arajang, Jumadi Kadere dikonfirmasi juga membenarkan jika ia turut diperiksa oleh Kejati Sulsel pada Selasa 6 September 2022.
“Dengan Andi Muri, dua orang anaknya dan saudaranya juga, tapi beda ruanganka diperiksa,” ucap Jumadi via telepon, Rabu 7 September 2022.
Ia mengatakan, pemeriksaan di Kejati Sulsel berkaitan dengan permasalahan pembebasan lahan pembangunan Bendungan Paselloreng yang sebelumnya sudah dilaksanakan.
“Tapi mungkin ada yang mempermasalahkan atau keberatan jadi ada pemeriksaan di Kejati Sulsel,” tutur Jumadi.
Dalam pemeriksaannya di Kejati Sulsel, Jumadi mengaku sudah menjawab beberapa pertanyaan Tim Jaksa di Kejati Sulsel yang memeriksanya kemarin. Pada dasarnya, kata dia, yang ditanyakan seputar penerima ganti rugi pembebasan lahan Bendungan Paselloreng.
“Tidak terlalu banyakji ditanya. Apa yang ditanya itu saja yang saya jawab sesuai yang saya ketahui. Yah seputar penerima-penerima ganti rugi saja saya ditanyakan, ada yang sudah terima atau ada juga belum itu yang ditanyakan sama Pak Jaksa,” jelas Jumadi.
“Oh iya sudah dulu yah, saya lagi ikut rapat dulu ini,” ucap Jumadi mengakhiri wawancara via telepon.
Ada Aroma Korupsi
Lembaga ACC Sulawesi sebelumnya telah mengungkap adanya bau korupsi dalam kegiatan pembebasan lahan pembangunan Bendungan Paselloreng yang terletak di Kabupaten Wajo, Sulsel itu.
Dari hasil investigasi, mereka menemukan adanya dugaan perbuatan korupsi yang bersifat terstruktur, sistematis dan massif. Baik terjadi sejak tahapan awal proses pelaksanaan pembebasan lahan hingga tahapan pencairan dana ganti rugi atas lahan warga yang terkena dampak pembebasan.
Kadir Wokanubun, Ketua Badan Pekerja Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) menjelaskan bahwa secara teknis, proses pelaksanaan tahapan hingga pembayaran ganti kerugian atas lahan telah diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
‌Di mana dalam Pasal 94, Ketua Panitia Pengadaan membentuk satuan tugas (satgas) yakni Satgas A yang membidangi pengumpulan data fisik tanah yang dalam hal ini pengukuran dan pemetaan bidang. Kemudian Satgas B yang memiliki tugas pengumpulan data yuridis tanah yang berkaitan dengan nama pemegang hak, bukti hak, letak lokasi status tanah, nomor identifikasi bidang, data tanaman yang di atasnya atau secara sederhana segala hal yang berkaitan dengan administrasi serta apa saja yang ada di atas tanah tersebut.
Selanjutnya dalam Pasal 105 tertuang bahwa hasil inventarisir dan identifikasi yang dilakukan oleh Satgas A dan Satgas B akan diumumkan di kantor kelurahan/ desa, kantor kecamatan.
“Tapi apa yang terjadi, ketentuan yang disebutkan di atas justru tidak dilakukan dan kami menemukan hal itu justru dilanggar. Dugaan korupsi keterkaitannya dengan penyalahgunaan wewenang sangat jelas kelihatan,” kata Kadir, Minggu 7 Agustus 2022.
‌
Dugaan perbuatan korupsi yang terjadi dalam pelaksanaan pembebasan lahan Bendungan Paselloreng tersebut, kata dia, berjalan secara terstruktur, karena adanya dugaan keterlibatan struktur kekuasaan yang dalam hal ini melibatkan oknum panita pengadaan tanah.
Ia mencontohkan misalnya, panitia pengadaan tidak pernah memanggil atau mengundang warga yang berhak dalam arti pemilik lahan sesungguhnya yang masuk dalam wilayah pembebasan.
“Malah yang terjadi oknum panitia pengadaan tanah justru memanggil orang lain atau kerabatnya yang sama sekali tidak memiliki hubungan dengan lahan yang dimaksud atau sebagai penerima ganti kerugian hak atas tanah yang masuk dalam pembebasan,” terang Kadir di Kantor ACC Sulawesi sebelumnya.
Tak hanya itu, dugaan korupsi dalam pelaksanaan pembebasan lahan Bendungan Paselloreng tersebut, juga dilakukan secara sistematis. Di mana dari hasil investigasi ACC Sulawesi menemukan adanya dugaan manipulasi data penerima ganti rugi lahan oleh tim panitia pelaksana pengadaan tanah.
“Di kepanitiaan pengadaan itu ada namanya Satgas A. Satgas ini memiliki fungsi verifikasi data pemegang hak atas tanah, namun data tersebut tidak didasarkan pada data yang sebenarnya. Melainkan, data yang digunakan tersebut data hasil manipulasi dari oknum panitia pelaksana pengadaan,” tutur Kadir.
Ia menemukan ada seorang warga yang memiliki bukti penguasaan lahan seperti dokumen Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atau dokumen administrasi tanah lainya dan orang tersebut telah menguasai tanah yang dimaksud secara turun-temurun, namun yang bersangkutan tidak pernah mendapatkan surat panggilan dari panitia pelaksana pengadaan tanah untuk dilanjutkan ke proses verifikasi data fisik berupa pengukuran yang dilaksanakan oleh panitia (Satgas B).
“Justru yang mendapat panggilan, adalah mereka yang sama sekali tidak memiliki hubungan dengan tanah,” ucap Kadir.
‌
Tak sampai di situ, keanehan lagi timbul saat pihaknya menemukan fakta lapangan bahwa dalam proses pengukuran tanah juga dilakukan secara sembunyi- sembunyi tanpa melibatkan warga pemilik lahan yang sebenarnya dan kesannya proses tersebut dilakukan dalam ruang yang gelap.
Hal tersebut, kata Kadir, terkonfirmasi saat pengumuman hasil Invetarisir dan identifikasi. Di mana oleh panitia hasilnya diumumkan di kantor kecamatan yang jauh dari daerah warga yang terdampak proyek pembebasan lahan pembangunan bendungan Paselloreng.
“Sehingga timbul pertanyaan ada apa, kenapa pengumuman tersebut dilakukan di tempat yang berbeda dan sangat jauh dari lokasi bendungan?,” ungkap Kadir.
Fakta lain di lapangan, tim investigasi ACC Sulawesi turut menemukan adanya dugaan kejanggalan berupa manipulasi luasan lahan oleh panitia pengadaan tanah.
‌”Misalnya total hasil pengukuran 1000 m2 namun di peta bidang tercantum hanya 500 m2 dan sisanya kemudian dicarikanlah orang lain agar seoalah-olah orang tersebut memiliki bidang tanah yang dimaksud,” beber Kadir.
Ia mengatakan, akibat dari praktek-praktek yang tak benar yang dilakukan secara massif di atas, jelas telah mengakibatkan ratusan kepala keluarga yang ada di tiga desa yang masuk dalam wilayah pembebasan lahan Bendungan Paselloreng tersebut mengalami kerugian bahkan mereka telah kehilangan sumber mata pencahariannya.
“Mereka semuanya petani, kasihan harus kehilangan hak atas tanahnya yang tidak lain sebagai sumber mata pencahariannya,” tutur Kadir.
“‌Sehingga kami menilai jika ini tak disikapi serius, maka sangat berpotensi merugikan keuangan negara yang cukup besar ke depannya dan sudah pasti terjadi kesalahan dalam pembayaran uang ganti rugi alias terjadi salah bayar uang ganti rugi atas lahan yang dibebaskan serta ratusan kepala Keluarga jelas akan kehilangan mata pencahariannya,” Kadir menambahkan. (Eka)