Aroma korupsi dalam proyek pembebasan lahan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo, Sulsel yang ditemukan oleh lembaga Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) dalam investigasi timnya di lapangan turut mendapat tanggapan dari kalangan akademisi. Salah satunya dari akademisi Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKI Paulus) Makassar.
Jermias Rarsina, Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKI Paulus) Makassar yang dimintai tanggapannya mengatakan, bau korupsi dalam pelaksanaan pembebasan lahan Bendungan Paselloreng yang menjadi temuan lembaga ACC Sulawesi tentunya harus didukung oleh Aparat Penegak Hukum (APH) dengan melakukan proses penyelidikan. Diantaranya menyelidiki adanya dugaan manipulasi data pemilik lahan oleh oknum Panitia Pengadaan Tanah yang disebutkan.
Cara kerja dari Panitia Pengadaan Tanah dalam pelaksanaan pembebasan lahan untuk kepentingan pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo, yang mana terkait dengan pemanggilan warga selaku pihak yang berhak atau pemilik atas lahan tanah diduga telah terjadi manipulasi data oleh oknum Panitia Pengadaan Tanah, kata Jermias, itu berpotensi untuk dapat dikenakan dugaan tindak pidana korupsi dalam menyalagunakan wewenang oleh oknum Panitia Pengadaan Tanah.
Hal itu, lanjut dia, rentan berkaitan dengan potensi perbuatan salah bayar ganti rugi pengadaan tanah jika benar pada kegiatan inventarisasi data fisik di lokasi tanah ternyata ada pihak yang berhak atau sebagai pemilik lahan tidak masuk selaku penerima pembayaran ganti kerugian pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, dalam hal ini pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo.
“Harus dipahami secara universal bahwa tata kerja Panitia Pengadaan Tanah menurut UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, sangat jelas tahapannya,” ucap Jermias, Kamis 11 Agustus 2022).
Tahapan itu, kata dia, meliputi perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan penyerahan hasil. Di mana semuanya wajib dijalankan secara cermat atau penuh kehati-hatian dengan tidak boleh menghindari prinsip dari asas keadilan, asas transparansi (keterbukaan), asas partisipasi masyarakat dan asas-asas lainnya dalam kegiatan pengadaan tanah untuk menuju kepada prinsip akuntabilitas (pertanggungjawaban) hukum yang benar dan tepat, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 13 (tahapan Pengadaan Tanah) Jo Pasal 2 (asas-asas pengadaan tanah) UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Tahapan kegiatan pengadaan tanah secara teknis pelaksanaannya dalam kaitan dengan ganti kerugian, kata Jermias, memang dipertegas dalam Permen Agraria dan Tata Ruang No. 19 Tahun 2021 Tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 19 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang pada prinsipnya menghendaki wewenang Panitia Pengadaan Tanah dapat membentuk Satgas (satuan tugas) A yang membidangi pengumpulan data fisik dan Satgas B untuk data yuridis dengan kualifikasi kerja pada bidang masing-masing satgas tersebut.
“Jika memang ada aroma dugaan atur mengatur mengenai penentuan siapa yang masuk sebagai penerima ganti rugi pengadaan tanah selaku pihak yang dianggap berhak dan/atau sebagai pemilik lahan tanah dilakukan dengan cara-cara yang ilegal atau menyalahi aturan hukum dan prinsip/ asas-asas pada kegiatan pengadaan tanah, maka dapat dikategori hal itu sebagai kejahatan (misdrijf),” terang Jermias.
“Bilamana dari perbuatan jahat tersebut berimplikasi kepada negara mengalami kerugian keuangan atau ekonomi, karena terjadi salah bayar bagi penerima ganti kerugian dalam proses pengadaan tanah, maka beralasan untuk dikategorikan sebagai dugaan Tindak Pidana Korupsi,” Jermias menambahkan.
Ia mengungkapkan, kewenangan memverifikasi data dalam kegiatan inventarisasi dan identifikasi harus dilakukan secara akurat atau valid, baik data fisik dan yuridis hingga pada pengumuman hasilnya. Dengan demikian sangat dibutuhkan prinsip kehati-hatian oleh Tim Satgas yang dibentuk oleh Panitia Pengadaan Tanah.
“Kewenangan tersebut melekat pada Panitia Pengadaan Tanah sebagaimana telah diatur dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 30 UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,” tutur Jermias.
Prinsip kehati-hatian sangat penting, tujuannya agar Panitia Pengadaan Tanah dapat mengambil keputusan dengan benar dan tepat dalam menentukan siapa pemegang hak atas tanah yang sah guna memperoleh pembayaran ganti kerugian dalam kegiatan pengadaan tanah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 40 UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
“Selain menghindari salah bayar kepada siapa pihak yang berhak dan/atau pemilik atas lahan tanah, Panitia Pengadaan Tanah juga harus cermat terhadap penentuan kebutuhan penggunaan lahan tanah sesuai luas obyek yang dibutuhkan dalam kegiatan pengadaan tanah,” jelas Jermias.
“Tidak boleh berspekulasi mengenai luas tanah yang terkena dampak ganti kerugian, oleh karena hal tersebut terintegrasi dengan biaya/anggaran yang dipergunakan dalam pembayaran ganti rugi lahan tanah yang disediakan oleh negara,” Jermias menambahkan.
Kegiatan pengadaan tanah, kata dia, pada prinsipnya dalam tindakan memverifikasi akan subyek dan obyek hak atas lahan tanah berdasarkan data fisik dan yuridis, termasuk luas tanah yang diadakan ganti kerugian dalam kegiatan pengadaan tanah tidak boleh terjadi kesalahan atau kekeliruan yang berdampak pada kerugian keuangan atau ekonomi negara.
Jika itu terjadi dan ditemukan faktanya, maka beralasan hukum untuk dipersoalkan sebagai perbuatan menyalagunakan wewenang oleh Panitia Pengadaan Tanah dalam dugaan Tindak Pidana korupsi.
Kasus hukum seperti itu, kata Jermias, sudah banyak diputuskan oleh Hakim Tipikor pada Pengadilan Tipikor dengan menghukum Panitia Pengadaan Tanah, sehingga tidak perlu dirisaukan penanganan hukumnya bila ditemukan tindak pidana (kejahatan) dalam kegiatan pengadaan tanah.
“Hanya saja warga masyarakat beserta lembaga sosial pemerhati akan penanganan kasus-kasus korupsi harus terus mendorong dan tetap menagih janji dari sikap keseriusan dan kekonsistenan Aparat Penegak Hukum yang berwenang untuk membongkar kejahatan pengadaan tanah pada pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo bila benar faktanya telah terjadi dugaan Tindak Pidana Korupsi, guna oknum pelakunya di bawah ke meja hijau,” Jermias menandaskan.
Temuan ACC Sulawesi
Lembaga ACC Sulawesi sebelumnya telah mengungkap adanya bau korupsi dalam kegiatan pembebasan lahan pembangunan Bendungan Paselloreng yang terletak di Kabupaten Wajo, Sulsel itu.
Hasil investigasi, mereka menemukan adanya dugaan perbuatan korupsi yang bersifat terstruktur, sistematis dan massif. Baik terjadi sejak tahapan awal proses pelaksanaan pembebasan lahan hingga tahapan pencairan dana ganti rugi atas lahan warga yang terkena dampak pembebasan.
Kadir Wokanubun, Ketua Badan Pekerja Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) menjelaskan bahwa secara teknis, proses pelaksanaan tahapan hingga pembayaran ganti kerugian atas lahan telah diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Di mana dalam Pasal 94, Ketua Panitia Pengadaan membentuk satuan tugas (satgas) yakni Satgas A yang membidangi pengumpulan data fisik tanah yang dalam hal ini pengukuran dan pemetaan bidang. Kemudian Satgas B yang memiliki tugas pengumpulan data yuridis tanah yang berkaitan dengan nama pemegang hak, bukti hak, letak lokasi status tanah, nomor identifikasi bidang, data tanaman yang di atasnya atau secara sederhana segala hal yang berkaitan dengan administrasi serta apa saja yang ada di atas tanah tersebut.
Selanjutnya dalam Pasal 105 tertuang bahwa hasil inventarisir dan identifikasi yang dilakukan oleh Satgas A dan Satgas B akan diumumkan di kantor kelurahan/ desa, kantor kecamatan.
“Tapi apa yang terjadi, ketentuan yang disebutkan di atas justru tidak dilakukan dan kami menemukan hal itu justru dilanggar. Dugaan korupsi keterkaitannya dengan penyalahgunaan wewenang sangat jelas kelihatan,” kata Kadir, Minggu 7 Agustus 2022.
Dugaan perbuatan korupsi yang terjadi dalam pelaksanaan pembebasan lahan Bendungan Paselloreng tersebut, kata dia, berjalan secara terstruktur, karena adanya dugaan keterlibatan struktur kekuasaan yang dalam hal ini melibatkan oknum panita pengadaan tanah.
Ia mencontohkan misalnya, panitia pengadaan tidak pernah memanggil atau mengundang warga yang berhak dalam arti pemilik lahan sesungguhnya yang masuk dalam wilayah pembebasan.
“Malah yang terjadi oknum panitia pengadaan tanah justru memanggil orang lain atau kerabatnya yang sama sekali tidak memiliki hubungan dengan lahan yang dimaksud atau sebagai penerima ganti kerugian hak atas tanah yang masuk dalam pembebasan,” terang Kadir di Kantor ACC Sulawesi.
Tak hanya itu, dugaan korupsi dalam pelaksanaan pembebasan lahan Bendungan Paselloreng tersebut, juga dilakukan secara sistematis. Di mana dari hasil investigasi ACC Sulawesi menemukan adanya dugaan manipulasi data penerima ganti rugi lahan oleh tim panitia pelaksana pengadaan tanah.
“Di kepanitiaan pengadaan itu ada namanya Satgas A. Satgas ini memiliki fungsi verifikasi data pemegang hak atas tanah, namun data tersebut tidak didasarkan pada data yang sebenarnya. Melainkan, data yang digunakan tersebut data hasil manipulasi dari oknum panitia pelaksana pengadaan,” tutur Kadir.
Ia menemukan ada seorang warga yang memiliki bukti penguasaan lahan seperti dokumen Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atau dokumen administrasi tanah lainya dan orang tersebut telah menguasai tanah yang dimaksud secara turun temurun, namun yang bersangkutan tidak pernah mendapatkan surat panggilan dari panitia pelaksana pengadaan tanah untuk dilanjutkan ke proses verifikasi data fisik berupa pengukuran yang dilaksanakan oleh panitia (Satgas B).
“Justru yang mendapat panggilan, adalah mereka yang sama sekali tidak memiliki hubungan dengan tanah,” ucap Kadir.
Tak sampai di situ, keanehan lagi timbul saat pihaknya menemukan fakta lapangan bahwa dalam proses pengukuran tanah juga dilakukan secara sembunyi- sembunyi tanpa melibatkan warga pemilik lahan yang sebenarnya dan kesannya proses tersebut dilakukan dalam ruang yang gelap.
Hal tersebut, kata Kadir, terkonfirmasi saat pengumuman hasil Invetarisir dan identifikasi. Di mana oleh panitia hasilnya diumumkan di kantor kecamatan yang jauh dari daerah warga yang terdampak proyek pembebasan lahan pembangunan bendungan Paselloreng.
“Sehingga timbul pertanyaan ada apa, kenapa pengumuman tersebut dilakukan di tempat yang berbeda dan sangat jauh dari lokasi bendungan?,” ungkap Kadir.
Fakta lain di lapangan, tim investigasi ACC Sulawesi turut menemukan adanya dugaan kejanggalan berupa manipulasi luasan lahan oleh panitia pengadaan tanah.
”Misalnya total hasil pengukuran 1000 m2 namun di peta bidang tercantum hanya 500 m2 dan sisanya kemudian dicarikanlah orang lain agar seoalah- olah orang tersebut memiliki bidang tanah yang dimaksud,” beber Kadir.
Ia mengatakan, akibat dari praktek-praktek yang tak benar yang dilakukan secara massif di atas, jelas telah mengakibatkan ratusan kepala keluarga yang ada di tiga desa yang masuk dalam wilayah pembebasan lahan Bendungan Paselloreng tersebut mengalami kerugian bahkan mereka telah kehilangan sumber mata pencahariannya.
“Mereka semuanya petani, kasihan harus kehilangan hak atas tanahnya yang tidak lain sebagai sumber mata pencahariannya,” tutur Kadir.
“Sehingga kami menilai, jika ini terus di lanjutkan maka sangat jelas potensi merugikan keuangan negara dan sudah pasti terjadi kesalahan dalam pembayaran uang ganti rugi alias terjadi salah bayar dalam pemberian uang ganti rugi atas lahan yang dibebaskan serta ratusan kepala Keluarga jelas akan kehilangan mata pencahariannya,” Kadir menambahkan.
Secara kelembagaan, ACC Sulawesi meminta kepada panitia pengadaan untuk segera menunda pembayaran ganti rugi dan memverifikasi ulang data yuridis serta turut mengukur ulang seluruh lahan yang masuk dalam kawasan pembebasan lahan Bendungan Paselloreng tersebut.
”Kami juga mendesak aparat penegak hukum untuk turun menyelidiki, memanggil dan memeriksa semua pihak atas dugaan korupsi yag terjadi dalam kegiatan pembebasan lahan Bendungan Paselloreng,” Kadir menandaskan.
Diketahui Bendungan Passelloreng merupakan salah satu proyek Strategis Nasional (Stranas) yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada September 2021.
Proyek tersebut melingkupi dua kecamatan yakni kecamatan Gilireng dan Kecamatan Maniangpajo. Dari dua kecamatan tersebut terdiri tiga desa yakni Desa Paselloreng, Desa Arajang Kecamatan Gilireng serta Desa Minanga Tellue Kecamatan Maningpajo.
Adapun konstruksi bendungan yang dibangun sejak tahun 2015 itu, bertujuan akan meningkatkan luasan irigasi premium untuk mengairi areal persawahan seluas 8.510 hektar (ha).
Konstruksi bendungan dikerjakan oleh PT Wijaya Karya–PT Bumi Karsa lewat skema Kerja Sama Operasi (KSO) mulai Juni 2015 dan rampung 100 persen pada akhir 2019. Biaya pembangunannya bersumber dari APBN sebesar Rp 793 miliar melalui skema tahun jamak 2015-2019.
Luas genangan Bendungan Paselloreng 1.892,47 ha dengan kapasitas tampung 138 juta m3 atau 10 kali lebih besar dibandingkan Bendungan Raknamo yang diresmikan Presiden Jokowi awal 2018 lalu sebesar 13,5 juta m3. Waduk ini juga lima kali lebih besar dari Bendungan Kuningan di Jawa Barat yang berkapasitas 25 juta m3. (Eka)