Djangan Sekali-kali meninggalkan sejarah (Bung Karno, 1966)
Kala, Sabur Limbur, Minggu, 1 Agustus 2021, dalam perjalanan pulang ke kota Makassar dari desa Paddinging Takalar, memintas jembatan Barombong Makassar.
Ombak mengalun, di muara sungai Jeneberang, pertemuan air tawar dan laut yang biasanya bergejolak bila banjir bertepatan air laut pasang naik dan ombak besar.
Hari itu, sungai Jeneberang mengalir pelan airnya pun jerni, nampak di atas beberapa sampan seludang dan sampan pukat, para nelayan sibuk menyiapkan peralatan untuk ritual menangkap ikan di mulut muara.
Seiring Dewi malam mulai menyelimuti bumi, ombak laut di muara sungai jeneberang mulai menepih.Dari kejauhan terdengar suara muadzin mendayu-dayu melafaskan adzan magrib dari sebuah mesjid di bagian selatan jembatan.
Saya tertegun, menyaksikan dan menikmati semua kejadian hari itu, betapa Agung Sang Pencipta alam jagad raya ini, mengatur irama kehidupan.
Lamunanku terhenti saat seorang sahabat menepuk bahu kanan, seraya mengajak untuk menuju ke tanah kosong di ujung Utara jembatan.
Ada sebuah mobil Pajero sport warna abu-abu metalik dengan plat polisi berkode KT, terparkir di situ.
Setelah masuk dalam mobilnya, sahabat yang baru tiba dari Kalimantan timur itu, mengungkapkan, niat untuk ketemu dengan saya sudah berapa hari lalu. “Ternyata, tak disangka ketemu di sini,” ucapnya
Sebelum menyampaikan maksud ingin ketemu, Dia menyampaikan bahwa sejak tadi berada di atas jembatan ini, menikmati lembayung senja.
Setelah itu, lelaki perawakan tinggi besar ini dengan suara datar mengatakan, “Kita ini bangsa yang kurang menghargai jasa para pejuang.” Hening sejenak, sahabat saya ini terlihat berapa kali menghirup napas panjang.
Saya membatin, apa hubungan pertemuan hari ini, dengan jasa para pejuang?
Kemudian Dia menyampaikan, “Bukan suatu kebetulan kita dipertemukan, karena Islam tidak mengenal kebetulan. Pasti ada hikma di balik semuanya ini, karena kita bertemu pada bulan Agustus yang merupakan bulan keberuntungan bagi seluruh masyarakat Indonesia.”
“Dan, hamparan tanah yang luas ini, punya ceritera sendiri bagi kami anak-cucu veteran (pejuang),” kata sahabat saya, seraya menunjuk jalan, dan kiri kanan badan jalan.
Menurut Dia, Informasi terakhir, lahan seluas 100 Ha yang pada awal tahun 60-an di berikan negara kepada para veteran untuk menguasai dan mengelola, kini sudah tidak lagi,” ucapnya.
“Untuk itu, Bung sebagai wartawan tolong telusuri masalah ini dan wartakan, agar masyarakat mengetahui sejarah tanah ini, serta segala persoalan yang melingkupi,” pintanya
“Tolong juga tulis bahwa tidak mungkin bangsa ini, menikmati kemerdekaan seperti saat ini tanpa jasa para pejuang. Harusnya bangsa yang besar ini, menghargai jasa para pejuang, karena mereka tampil beda, berani keluar dari zona nyaman untuk kemudian menantang penjajah,” ungkapnya
Maka sangat tepat yang disampaikan Presiden Soekarno dalam pidato 17 Agustus 1966 bahwa, “Djangan Sekali-kali meninggalkan sejarah,” tegasnya.
Sebelum kami berpisah, Dia berharap agar wartawan media ini meminta keterangan dari para pengurus legiun veteran Markas Gowa.
Karena mereka kompeten untuk menjelaskan segala hal ihwal, tentang tanah ini.
Kemudian, Dia meminta agar namanya tidak dimediakan. Bukan karena takut, akan tetapi ada pertimbangan lain.
Pantang bagi kami anak-cucu para veteran untuk takut apalagi jadi pecundang.
Saat berpisah sahabat saya yang keterunan “gado-gado,” berdarah, Makassar, Manodo, Jawa dan Ambon ini mendendangkan sebait lagu gubahan, Soedjarwoto Soemarsono alias Gombloh.
“Kebyar-kebyar pelanggi jingga
Biarpun bumi berguncang
Kau tetap Indonesiaku
Andaikan matahari terbit dari barat
Kau pun Indonesiaku
Tak sebilah pedang yang tajam.Dapat palingkan daku darimu.”
Pilih Mati dari pada Menyerah
Terpisah, saat saya bertemu dengan Sekretaris Yayasan Karya Darma Legiun Veteran Republik Indonesia(YKLV-RI) Cabang Gowa, Sukiman, di rumah kerabatnya Jl Panciro-Limbung, Gowa, Selasa(10/8/2021), langsung saya menyampaikan harapan salah satu anak Veteran kepada pengurus YKLV-RI Gowa untuk merebut kembali tanah di Tanjung Merdeka.
Sukiman, dengan ekspresi senyum, seraya manggut-manggut mendengar informasi yang saya sampaikan. Sesaat kemudian, Sukiman, mengatakan, “Tiap saat harapan yang sama, Pengurus YKLV-RI, Gowa, terima dari anak-cucu Para Veteran di seluruh pelosok negeri ini, agar merebut kembali lahan di Tanjung Merdeka sana.”
Perlu diketahui, bahwa YKLV-RI Gowa, terus bergerak untuk merebut kembali haknya. Karena prinsip hidup para veteran adalah Lebih baik mati dari pada menyerah. Dan prinsip ini, tak lekang dek panas, tak lapuk dek hujan,” tegas Sukiman
Pun menceritakan suka duka, yang dialami YKLV-RI Gowa terhadap tanah 100 Ha yang letak di Tanjung Merdeka Makassar. Yang awal-awal kemerdekaan diberikan negara untuk dikuasai dan dikelolah.
Menurut Sukiman, “Pada waktu Revolusi, atau sebelum Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 terbit; Kampung Bayang adalah basis pertahanan pejuang kemerdekaan melawan penjajah (masih wilayah Gowa). Dan pada tahun 1971, masuk wilayah Makassar dan dinamakan Tanjung Merdeka.”
Agar diketahui bahwa Yayasan Markas Cabang LVRI Dati II Gowa kemudian bernama Yayasan Karya Dharma Legiun Veteran RI Markas Cabang Kabupaten Gowa dan telah mendapat pengesahan dari Kementrian Hukum dan HAM Republik Indonesia. No.AHU 2- AH.01.14508 tanggal 22 December 2011.
Lanjut Sukiman mengatakan,
“Pada tanggal 15 oktober 1962, tanah seluas 100 Ha, yang masih berbentuk semak dan rawa-rawa dan lain lain di Kampung Bayang, (Kelurahan Tanjung Merdeka).
Oleh Kelapa Kantor Agraria sekarang BPN Kabupaten Gowa, memberikan tanah tersebut kepada Yayasan LVRI Gowa dengan Surat Izin mengolah tanah No. 40/imt/Kadsu V/62”
“Untuk mengolah/mengawasi/mempergunakan tanah negara/milik orang lain yang ditelantarkan, dimaksud pasal 27 ayat (a) poin (3) UUPA nomor 5/60, terletak di Desa Bayang, Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa seluas 100 Ha,” urainya.
Sukiman menegaskan, “Bagian awal surat Izin mengolah yang diterima Yayasan Markas Cabang LVRI dari, kepala Agraria daerah Gowa menerangkan bahwa berkenaan dengan tujuan pemerintah agar setiap bidang tanah harus diaktifkan diolah secara produktif. Pasal 13 UUPA nomor 5/60.”
“Dan untuk mencegah pendudukan tanah secara liar sebagaimana dimaksud Undang-Undang, nomor 51/60, tentang larangan pemakaian tanah tanpa yang berhak atau kuasanya,” bebernya.
Dia menambahkan, “Masih di bagian pertama surat izin tersebut, dijelaskan bahwa pemberian izin mengolah sejalan dengan surat kepala Agraria Gowa tanggal 9 April 1962 nomor: 307/VI/1962. Dan surat Kepala Daerah Gowa tanggal 26 Maret, 62 nomor: Pta. 3/11/1 dalam rangka Solsupporting bahan makanan bidang Perikanan/Industri.”
Lelaki berambut putih yang mengaku berasal dari Tanadoang Selayar ini, tegas mengatakan, “Sangat jelas bahwa kehadiran para veteran
(Pejuang) bukan hanya pada saat merebut kemerdekaan saja, tetapi sesudah kemerdekaan pun negara membutuhkan tenaga dan pikirannya untuk mengamankan tanah negara.”
Lebih lanjut Sukiman mengatakan, “Puluhan tahun LVRI mengerjakan, membentuk menjadi empang/tambak, tanah darat dan baru mulai berproduksi datanglah PT. GMTD membuka usaha.”
Sukiman menambahkan, “Pada mulanya kehadiran GMTD, untuk Parawisata di Tanjung Bunga, bukan di Tanjung Bayang, dengan SK Gubernur Sulsel nomor 556/3565/ BKPMD tanggal 4 Juli 1995, tentang pemberian rekomendasih pembagunan dan pengelolaan kawasan periwisata, perkantoran, perdagangan, perumahan dan lain lain.
Mengenai masalah ini, Sukiman, memperlihatkan kopian surat yang terstempel “YKLVRI Gowa Terkubur Hidup-Hidup Akibat Kolusi Alat Bukti.”
Surat itu ditujukan ke Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, di Jakarta, Ka Kanwil Agraria dan Tata Ruang, Badan Pertanahan Nasional Sulawesi Selatan di Makassar. Juga menyurat ke Kakan Agraria dan Tata Ruang, Badan Pertanahan Nasional Kota Makassar di Makassar.
Sebelum berpisah, Sukiman menitip pesan kepada semua anggota veteran dan semua anak- cucu veteran agar tetap dalam barisan, jaga keamanan dan ketertiban, tunggu Komando untuk merebut kembali apa yang jadi hak kita, (M.Said Welikin)