Telaah Normatif dan Praktek dalam perspektif hukum Agraria
Oleh: Jermias Rarsina, Dosen UKI Paulus Makassar sekaligus Praktisi Hukum.
Kaum ilmuan hukum agraria memberi terminologi politik hukum agraria adalah suatu kekuasaan (otoritas) untuk mengatur, menyediakan, mengelola, memanfaatkan dan memelihara unsur-unsur agraria yang terdiri dari bumi, air, ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai unsur-unsur agraria itu sendiri.
Hal itu lebih dikongkritkan lagi dalam regulasi dasarnya yaitu tertuang dalam UUPA pada Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) yang secara jelas dan tegas menandaskan bahwa pada tingkatan tertinggi negara mempunyai “hak menguasai” semata dalam menjalankan wewenang atau otoritas sebagaimana terminologi politik hukum agraria. Itulah makna hakikinya, jika kita dengan saksama menelaah ketentuan UUPA tersebut.
Semakin menjadi roh hukum sebagai nafas kehidupan yang kokoh bagi jaminan perlindungan hak milik atas tanah kepada rakyat Indonesia adalah UUPA pada Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 21 ayat (1) memberikan penguatan kepastian hukum mengenai hal itu.
Penegasannya terlihat pada uraian
gramatikal berbunyi; “Hak milik adalah hak turun temurun terkuat terpenuh yang dapat dipunyai setiap orang atas tanah, dan hanya warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik”.
Pemikiran hukum tersebut lahir sebagai bentuk antitesa dari kelicikan kaum kolonialis Belanda yang dahulu memberlakukan asas “Domain Verklaing” sebagai konsep negara memiliki tanah pada ketentuan hukum administrasi Belanda di masa itu yang dikenal Agrarische Wet (AW) dan Agrarische Besluit (AB).
Dengan semangat merdeka dan berdaulat di negeri sendiri, maka rakyat Indonesia bersorak-sorai menyambut hadirnya UUPA (UU No. 5 Tahun 1960) sebagai hukum agraria nasional di bawah panji Asas Univikasi Hukum.
Itu artinya dengan lahirnya UUPA merupakan satu hukum yang berlaku untuk kepentingan nasional bagi seluruh Bangsa Indonesia di lapangan hukum agraria, sehingga tidak berlaku lagi hukum agraria buatan kolonial.
Lahir UUPA sebagai hukum tanah nasional secara normatif mengekspresikan wajah baru dan sebagai angin segar untuk memberi proteksi akan jaminan perlindungan hak milik atas tanah di Indonesia bagi rakyatnya, terutama terhadap hak-hak atas tanah adat.
Itu lebih terbukti lagi semakin dikuatkan dalam constitusional law (UUD Tahun 1945) pada Pasal 18 huruf B mengenai negara mengakui hak- hak tradisional dari masyarakat adat, khususnya hak milik atas tanah adat baik bersifat individual maupun komunal.
Konsepsi hukum agraria dalam norma pokok baik dalam UUPA maupun UUD tahun 1945 telah mengamanatkan perlindungan akan kepastian hukum pengakuan hak milik atas tanah rakyat Indonesia, namun secara praktik masih jauh dari harapan rasa adil di hati rakyat dari sisi keberpihakan oleh negara.
Pemenuhan akan kebutuhan tanah untuk rakyat dalam konteks pemilikan tanah sebagai status hak milik baik untuk lahan tempat bernaung (rumah tinggal) ataupun perkebunan/pertanian masyarakat masih menjadi kasuistis yang tidak berkeadilan, karena keberpihakan negara pada kaum investor atau konglomerasi.
Faktanya tidak terbantahkan sejak dahulu hingga sekarang kasus klasiknya tidak pernah tuntas sekaitan dengan penguasaan lahan hutan, perkebunan, pertambangan, properti dan investasi lainnya sehubungan dengan tanah hak milik rakyat.
Kasus tersebut banyak dijumpai hampir di seluruh wilayah RI, terutama yang paling nampak adalah penguasaan lahan tanah rakyat di daerah Kalimantan, Papua, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Maluku, sebagian Pulau Jawa dan daerah lainnya di wilayah RI dalam hubungan dengan kepentingan investasi lahan tambang dan perkebunan. Penyelesaian kasusnya tidak sekedar dilakukan melalui jalur hukum semata, melainkan pula secara politik dan birokrasi pemerintahan.
Pada umumnya hasil penyelesaiannya rakyat mengalami kekalahan, karena hanya memiliki bukti penguasaan lahan tanah secara turun temurun bersifat adat. Harusnya negara hadir
secara jujur dan obyektif menilai validitas penguasaan tanah secara nyata yang bersifat turun temurun, karena UUPA mengakui peristiwa hukum tersebut. Lalu kemudian memberi perlindungan hak penguasaan kepada rakyat atas penguasaan turun temurun, bukan
membuat dalil yang menyudutkan rakyat karena tidak memiliki bukti deyure yang tertulis sifatnya.
Pada kenyataannya dalam konteks konflik agraria mengenai pengakuan hak milik atas tanah rakyat yang erat kaitannya dengan investasi para konglomerasi, otoritas negara
hadir dalam perspektif politik hukum agraria dingin keberpihakan kebijakan kepada perlindungan hak atas tanah rakyat mengenai pengakuan hak milik.
Teramat penting lagi jika rakyat sulit membuktikan secara dejure kepemilikan lahan tanahnya, walau mungkin secara feitelijk/nyata yang menempati secara turun temurun tanah adalah rakyat. Bukankah politik hukum agraria bangsa ini telah bersepakat dalam ketentuan UUPA bahwa hak milik atas tanah adalah hak turun terkuat terpenuhi, termasuk hak adat.
Disisi lain, UUD Tahun 1945 telah mengakui dan menjamin hak kepemilikan adat atas tanah sepanjang tidak bertentangan dengan hukum serta eksistensinya masih ada dan terjaga.
Harusnya negara hadir dalam dimensi politik hukum agraria berupa memberi kebijakan yang berpihak pada jaminan perlindungan hak milik atas tanah rakyat, sebagai manifestasi dari politik hukum agraria yang “Pro kepada Rakyat.
Itulah paradoks politik hukum agraria di negara ini. Menghilangkan asas domain verklaring buatan kolonial, tetapi masih mempraktekan otoritas berupa mereduksi apa saja yang menjadi keinginan dengan dalil untuk dan atas nama “Kepentingan Negara dalam Berinvestasi” tak bedanya negara semu dalam berprilaku menjadi pemilik tanah sebagai bentuk meligitimasi hak menguasai negara atas tanah.
Katanya menghilangkan budaya ketamakan kaum kolonial atau penjajah, padahal samar untuk dibedakan prilakunya dari praktek asas domain verklaring dalam makna yang luas.