Telaah kritis hukum agraria
Oleh: Jermias Rarsina
(Dosen UKIP Makassar/ Advokat)
Investasi merupakan salah satu motor penggerak bagi penguatan ekonomi negara. Olehnya itu, dalam rangka mengeluarkan kebijakan ekonominya, negara berusaha keras untuk meningkatkan investasi diberbagai sektor penghidupan, termasuk dibidang pengelolaan dan pemanfaatan lahan tanah.
Salah satu manivestasi dari kebijakan investasi di Indonesia adalah pemerintah melakukan terobosan kebijakan investasi yang berorentasi pada Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDM) dalam bentuk Penanaman Modal Pemerintah Pusat atau Daerah dibidang pertanahan yang erat kaitannya dengan pengakuan hak atas tanah.
Dalam perspektif yang ideal, investasi dilakukan negara dengan tujuan mewujudkan esensi dari ketentuan Pasal 33 UUD Negara RI tahun 1945, yakni mewujudkan perekonomian bangsa Indonesia yang menitikberatkan pada kesejahteraan rakyat berbasis ekonomi
kerakyatan.
Berkenaan dengan prinsip pemikiran ideal tersebut, maka dibuatlah regulasi
mengenai hal itu. Analisis pada pendekatan historikal (Historical Approach) dan pendekatan Undang-undang (Statuta Approach) telah memberikan batasan yang hakiki
sebagai prinsip bahwasannya negara hanya mempunyai kewenangan yang hanya bersifat menguasai tanah, bukan memikiki tanah.
Hal itulah yang membuat karakteristik dari pengakuan hak atas tanah dalam perspektif Hukum Agraria di Indonesia, yakni negara tidak lagi memangku kewenangan sesuka hati merampas tanah rakyat tanpa disertai dengan alasan dan dasar hukum pengaturan hak atas tanah yang jelas. Singkatnya, kewenangan negara secara absolut (mutlak) mengenai pengakuan hak atas tanah untuk memiliki (tanah menjadi milik negara) tidak ada lagi atau telah tiada asas Domain Verklaring.
Sekalipun demikian adanya, namun ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUPA masih memberikan kewenangan sepenuhnya kepada negara secara politik hukum agraria untuk menggunakan kekuasaan (otoritas) menjalankan fungsi mengatur dalam arti hak menguasai negara atas
tanah.
Investasi selalu berdalil dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi bangsa yang didalamnya termasuk memikirkan kesejahteraan rakyat pemegang hak atas tanah. Hal itu berarti investasi dalam eksistensinya tidak boleh menghilangkan kedaulatan ekonomi rakyat dibidang pertanahan sebagai bentuk dari pengakuan hak atas tanah rakyat, yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara.
Dalam kajian agraria reformasi semangatnya adalah fungsi mengatur pengelolaan dan pemanfaatan tanah sedapat mungkin mengimplementasikan kesejahteraan yang sifatnya kongkrit bukan semu, terutama bagi kesejahteraan kaum petani selaku masyarakat agraris. Sayangnya pada tataran realitas cita-cita tersebut masih jauh dari sebuah harapan yang didambakan.
Dalam praktek pengelolaan dan pemanfaatan tanah berbasis investasi itu tidak terlepas dari faktor komersialistis. Apalagi investasi tersebut dalam bentuk PMA atau PMDN sangat erat keterkaitannya dengan kebijakan politis berbasis otoritas pemerintahan. Kita dapat mengambil contoh kongkrit mengenai Hak Guna Usaha (HGU) untuk lahan perkebunan atau pertanian.
Kondisi kebutuhan agrarisnya berbeda jauh dengan petani pedesaan yang skalanya untuk pemenuhan hidup kebutuhan primer. Hal itu sangat terasa sekali baik mengenai modal usaha, luas tanah, kebijakan pengeloaan lahan hingga sampai pada produksi atau hasil yang ingin dicapai. Karakteristis dari kedua dimensi kebutuhan tersebut sungguh jauh berbeda ditinjau dari motif pengelolaan hingga terkait pemanfaatan lahan dari segi tujuan yang hendak dicapai.
Secara rasional sudah pasti pengelolaan dan pemanfaatan lahan tanah berbasis investasi PMA dan PMDN dijalankan oleh korporasi (badan usaha PT, perusahaan Tbk atau perseorangan yang konglomerat) yang permanen baik dari segi legal formal, kesiapan modal dan tenaga kerja yang harus diperhitungkan dengan produksi yang hendak dicapai sebagai tujuan benefit atau keuntungan.
Hal itu tidak dilarang karena telah ada dan banyak regulasi yang mengaturnya. Seperti halnya ketentuan UU No. 1 Tahun 1967 yang diubah dengan UU No. 11 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing Jo UU No. 6 Tahun 1968 yang diubah dengan UU No. 12 Tahun1970 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri Jo UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Kesemuanya memberikan kewenangan berinvestasi sehubungan pengelolaan dan pemanfaatan tanah bagi perusahaan atau korporasi. Sedangkan kaum petani pedesaan pola managemennya hanya terstruktur secara konvensional semata, yang pada kenyataannya kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan lahan tidak dipungkiri masih jauh dari harapan.
Salah satu contoh penerapan ketentun hukum PMA pada pasal 14 menegaskan bahwasannya Perusahaan Modal Asing dapat diberikan hak atas tanah dengan HGU, HGB dan Hak Pakai menurut ketentuan hukum yang berlaku. Adigium hukum tersebut jika dihubungkan dengan ketentuan Pokok Hukum Agraria, yaitu UUPA telah sejalan atau senafas. Hal itu terbukti dalam Pasal 28 Ayat (2), Pasal 30 ayat ( 1 ) huruf b Jo Pasal 36 ayat (1) Jo Pasal 42 huruf b, c dan d yang memberikan legitimasi bagi badan usaha asing untuk dapat berinvestasi sehubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan tanah menurut hukum agraria di Indonesia.
Negara disatu sisi tidak menutup mata untuk mengembangkan perekonomian bangsa pada dunia investasi dibidang pertanahan dalam hubungannya dengan hak atas tanah. Disisi lain, tujuan dari hak menguasai negara atas tanah tidak terlepas dari menyejahterakan rakyat, terutama kaum petani. Bukan berarti harus menjadi kesamaan dalam sebuah proposi tujuan, sebab latar belakang (back ground) dari perspektif kedaulatan rakyat kaum tani itu dengan kaum investor (pelaku investasi) itu berbeda antara langit dan bumi dalam hal mengelola dan memanfaatkan lahan tanah.
Yang terpenting adalah negara harus hadir memberikan proteksi hukum kepada rakyatnya terutama kaum petani untuk tidak menjadi miskin di negerinya sendiri karena mereka kehilangan hak atas tanahnya yang telah menjadi lahan investasi bagi para investor atau konglomerasi. Minimal kepedulian negara dapat mengapresiasikannya melalui tindakan berupa; adanya sinkronisasi pemberian tanah (termasuk luas tanah) untuk skala kebutuhan, menghilangkan pemikiran komoditi dan komersial yang berpro pada investor dan menciptakan tatanan regulasi baru yang lebih berkesimbangan pengaturannya antara hak kaum pebisnis (investor) dan rakyat khususnya kaum petani. Kesenjangan tidak nampak dan kedaulatan rakyat atas hak tanah semakin menjadi kuat, nischya. Tujuan agraris menjadi tercapai dalam arti rakyat terutama kaum petani menjadi sejahtera secara makna sesungguhnya. (Eka)