Oleh: Jermias Rarsina (Dosen UKI Paulus Makassar dan Advokat).
KEDAI-BERITA.COM, MAKASSAR– Hampir 4 bulan lebih lamanya di Indonesia publik menjadi cemas dengan hadirnya virus COVID19 yang telah menjadi pandemi di seluruh belahan dunia.
Tidak saja cemas karena bersoal virus yang mendatangkan wabah penyakit, namun resah pula dengan kebijakan pemerintah untuk membatasi aktivitas hidup masyarakat yang sangat hakiki atau prinsipil.
Misalnya saja membatasi ruang gerak bermigrasi antar wilayah, berbicara atau komunikasi harus tutup mulut dengan masker bahkan duduk berdampingan pun harus jaga jarak minimal 2 meter (social distancing) dan lain sebagainya yang membuat gerah publik dari faktor kebiasaan hidup kesehariannya.
Memang tak semudah yang dibayangkan seperti membalikkan telapak tangan atau bimsalabim kemudian semua urusan penanganan kasus COVID19 secara ideal terkabul dalam hubungannya dengan pola pikir dan pemahaman masyarakat.
Apalagi media telah mempublikasikan berbagai informasi penanganan kasus COVID19 dalam berbagai dimensi yang kontroversial antara pemahaman masyarakat terhadap kebijakan pemerintah.
Belum lagi ada asumsi negatif dari masyarakat terkait politik penggunaan anggaran negara yang banyak berhamburan namun pendistribusiannya dinilai salah sasaran baik untuk pembelian alat kesehatan (alkes) dan bantuan sosial (bansos) ke masyarakat.
Semuanya telah menjadi asumsi negatif yang bersifat memojokan pemerintah dari segi penggunaan anggaran penanganan kasus COVID19.
Beredarnya berita miring mengenai kebenaran hasil pemeriksaan kesehatan berupa rapid test dan sebagainya dinilai banyak terjadi rekayasa bahkan sekarang ini masyarakat menilai rapid test dijadikan sebagai lahan komersial (bisnis) dengan harga yang variatif.
Semuanya telah menjadi problem yang krusial dalam penanganan kasus COVID19, ditambah beredarnya berita atau informasi lewat media sosial (medsos) atau media lainnya yang sifatnya menimbulkan asumsi negatif kepada pemerintah dalam penanganan COVID19.
Padahal jika kita mau obyektif dalam berpikir dan menilai, maka ada banyak fakta yang akurasi datanya mengenai masalah kesehatan dan penanganan lainnya yang berhubungan dengan kasus COVID19 yang dikeluarkan oleh pemerintah dan membawa hasil serta bermanfaat kepada masyarakat.
Kita tidak boleh begitu saja menuding kesalahan atau kebohongan kepada pemerintah yang bersandar pada nilai asumsi belaka. Itu bakal menjadi fitnah, bukan sebagai kebenaran yang rasionil.
Adapun masyarakat menjadi gaduh dalam menyikapi penanganan kasus COVID19 oleh pemerintah, juga dipandang masih bersifat wajar saja, karena imbasnya terkena pada konflik sosial soal urusan ekonomi terutama problem makan minum sehari-hari bagi rakyat kecil.
Seharusnya ada jalan keluar melalui pemikiran yang rasionil dan jernih. Pemerintah harus arif dan bijak menyikapi problem penanganan COVID19 dengan berbagai pendekatan yang komprehensif yang tetap bersandar pada prinsip transparansi (terbuka), jujur, obyektif, tidak diskriminatif dan dapat mempertanggung jawabkan (akuntabilitas) segala bentuk kebijakan yang telah diambil.
Rakyat tidak akan menuntut apa-apa asalkan pikiran dan hatinya menjadi tenang karena berkepastian hidup mencari nafkah untuk bisa mengatasi urusan makan minum sehari-hari.
Jika tidak demikian, yakin bahwa asumsi negatif selalu ada dalam benak (pikiran) masyarakat sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah dengan menstigmanisasikan bahwa ada kebohongan di balik penanganan kasus COVID19.
Jangan salahkan rakyat Indonesia untuk memberi asumsi dan penilaian seperti itu, karena memang sesungguhnya budaya leluhur bangsa ini sudah mewariskan gaya atau cara berpikir pragmatisme seperti itu sejak dahulu kala.
Itu adalah manifestasi dari paham hukum adat bangsa ini yang ciri khususnya adalah melihat persoalan pada cara berpikir yang konkret (nyata) sehingga dianggap pragmatis, bukan sesuatu yang abstrak.(*)