KEDAI-BERITA.COM, Makassar– Lembaga Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) menyayangkan sikap Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) yang terkesan menutupi peran pihak lain dalam kasus dugaan korupsi pembebasan lahan proyek underpass simpang lima Bandara.
“Padahal sangat jelas semua yang tergabung dalam panitia pengadaan tanah harus dimintai pertanggungjawaban. Aneh sekali jika penyidikan kasus ini tak dilanjutkan kembali,” kata Kadir Wokanubun, Direktur Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi), Jumat (23/8/2019).
Ia berharap Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kajati Sulsel) yang baru, Firdaus Weldimar segera mengevaluasi dan mengatensi upaya penyidikan lanjutan guna mendalami keterlibatan pihak lain dalam kasus yang jelas telah merugikan negara miliaran rupiah tersebut.
“Dalam sidang yang menjerat dua orang terdakwa sebelumnya juga terungkap fakta baru bahwa dalam kegiatan pembebasan lahan tidak merujuk pada aturan sebenarnya,” beber Kadir.
Dimana pada tahap kegiatan pembebasan lahan proyek underpas Bandara, tak membentuk tim pengadaan tanah yang merujuk pada aturan tentang penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Melainkan, kegiatan tersebut dikerjakan oleh tim yang dinamakan tim satgas yang didasarkan pada Surat Keputusan (SK) Wali Kota Makassar periode itu.
“Ada kesan mereka tak mau libatkan pihak BPN dalam kegiatan pembebasan lahan tersebut. Sehingga mereka tak membentuk tim pengadaan tanah yang didalamnya harus melibatkan semua pihak termasuk BPN. Mereka malah membentuk tim dengan nama tim satgas yang tak jelas dari mana aturan mainnya,” ujar Kadir membeberkan fakta persidangan kasus underpass tersebut.
Merujuk pada hasil penyidikan bidang Pidsus Kejati Sulsel terkait kegiatan tersebut, kata Kadir, wajar jika ditemukan terjadi pembayaran ganti rugi pada orang yang tidak berhak alias salah bayar.
“Malah dari keterangan BPN kepada penyidik terungkap bahwa ada lahan negara yang dibayarkan dalam proyek pembebasan itu. Ini jelas pertanggungjawabannya kepada tim yang berperan sebagai tim pembebasan lahan dalam hal ini tim satgas,” ujar Kadir.
Ia berharap Kajati Sulsel yang baru mendukung adanya upaya penyidikan lanjutan terhadap kasus underpass yang sebelumnya telah menyeret dua orang terdakwa dan saat ini prosesnya masih bergulir di persidangan tipikor Makassar.
“Kasus ini tak boleh ada kesan tebang pilih harus dilanjutkan. Apalagi dukungan alat bukti sangat cukup,” terang Kadir.
Diketahui dalam kasus dugaan korupsi underpass simpang lima Bandara ini telah menetapkan dua orang tersangka. Masing-masing Rosdiana dan Ahmad Rifai.
Dalam proyek tersebut, Rosdiana diketahui bertindak sebagai penerima ganti rugi lahan sedangkan Ahmad Rifai bertindak sebagai Sekretaris Tim Satgas.
Dari hasil penyidikan, Ahmad Rifai yang diketahui sebagai Kasubag Pertanahan Pemerintah Kota Makassar (Pemkot Makassar) kala itu, diduga melakukan kongkalikong dengan Rosdiana yang bertindak seolah-olah sebagai kuasa penerima anggaran atas lahan yang masuk dalam pembebasan proyek underpass simpang lima Bandara.
Padahal, lahan yang dimaksud atau diajukan oleh Rosdiana tersebut, tidak termasuk sebagai lahan yang dibebaskan dalam proyek pembangunan underpass. Hal ini terbukti dengan temuan sertifikat tanah yang diajukan untuk diganti rugi.
“Jadi ada sebidang tanah yang menerima pembayaran adalah orang yang tidak berhak. Artinya ada kongkalikong. Jadi ada orang yang bertindak seolah-olah sebagai penerima ganti rugi padahal dia tidak berhak,” jelas Kepala Kejati Sulsel yang masih dijabat oleh Tarmizi kala itu.
Dari perbuatan keduanya, negara diduga dirugikan sebesar Rp 3.482.500.000 sesuai dari hasil perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan Perwakilan Sulawesi Selatan (BPKP Sulsel).
“Uang ganti rugi lahan yang diterima oleh Rosdiana sebesar nilai kerugian negara tersebut, dimana Ahmad Rifai turut mendapat fee sebesar Rp 250 juta dari Rosdiana,” urai Tarmizi.
Proyek pembebasan lahan proyek underpas simpang lima Bandara, diselidiki oleh Kejati Sulsel pada awal tahun 2017 lalu. Dimana proyek tersebut diketahui menggunakan anggaran yang bersumber dari APBN melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang dijalankan oleh Balai Jalan Metropolitan Makassar (BJMM) senilai Rp 10 miliar.
Dalam perjalanannya, Pemkot Makassar diminta oleh BJMM untuk menyediakan lahan yang akan digunakan pada proyek tersebut. Selain itu Pemkot juga diminta untuk membuat daftar nominatif (inventarisasi lahan) yang akan digunakan untuk pembebasan lahan proyek underpass.
Namun dalam pelaksanaan pembebasan lahannya, ditemukan adanya indikasi dugaan salah bayar senilai Rp 3,48 miliar.
Pada tahap penyelidikan, beberapa pihak terkait dalam proyek tersebut diperiksa secara maraton. Diantaranya Camat Biringkanaya, Andi Syahrum Makkuradde dan mantan Kasubag Pertanahan Pemkot Makassar, Ahmad Rifai.
Tepat November 2017, status kasus pembangunan underpass simpang lima Bandara pun resmi ditingkatkan oleh Kejati Sulsel dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan karena pertimbangan alat bukti adanya unsur perbuatan melawan hukum didalamnya dianggap telah terpenuhi. Sejumlah pihak lain yang terkait pun turut diperiksa kembali secara maraton oleh tim penyidik Kejati Sulsel.
Diantaranya Camat Tamalanrea, Kaharuddin Bakti, Kepala Kelurahan Sudiang, Udin dan Asisten 1 Pemkot Makassar yang bertindak selaku Ketua Tim Pengadaan Lahan, M. Sabri juga diperiksa sebagai saksi pada bulan Desember 2017 lalu. Kemudian berlanjut memeriksa mantan Kepala Badan Pertanahan (BPN) Kota Makassar, Iljas Tedjo Prijono pada tanggal 8 Januari 2018.
Tak hanya itu, tim penyidik Kejati Sulsel juga telah memeriksa sejumlah orang yang tergabung dalam tim panitia pengadaan lahan lainnya yang diduga mengetahui dan terlibat dalam proyek merugikan negara tersebut.
Mereka adalah dua staf Kesbangpol Kota Makassar yakni A. Rifai dan Hasan Sulaiman yang masing-masing bertugas sebagai mantan Sekretaris Panitia Pengadaan Lahan dan staf panitia pembebasan lahan. Keduanya diperiksa pada tanggal 29 Januari 2018 lalu. (Eka)