Kedai-Berita.com, Makassar– Tersangka dugaan pengrusakan rumah toko (ruko) di Jalan Buruh Kelurahan Melayu Kecamatan Wajo Kota Makassar, Jemis Kontaria menggugat praperadilan Polda Sulsel di Pengadilan Negeri (PN) Makassar.
“Tersangka ajukan praperadilan karena menilai status tersangkanya tidak sah. Dia (tersangka) menggangap perkaranya nebis in idem karena sudah pernah melalui jalur praperadilan sebelumnya saat perkara ditangani oleh Polsek Wajo,” kata Kompol Agus Chaerul salah seorang tim bidang hukum (Bidkum) Polda Sulsel saat ditemui disela-sela menghadiri sidang praperadilan di PN Makassar, Jumat (15/12/2017).
Ia mengungkapkan sebelumnya, perkara dugaan pengrusakan ruko di Jalan Buruh Makassar awalnya ditangani Polsek Wajo dengan menetapkan beberapa orang tukang yang dipekerjakan oleh Jemis Kontaria menjadi tersangka.
Pasca ditetapkan tersangka, Jemis pun mencoba membela para tukangnya dengan melakukan upaya hukum praperadilan ke Pengadilan Negeri Makassar. Alhasil Hakim Tunggal, Cenning Budiana yang memimpin sidang praperadilan kala itu menerima upaya praperdilan. Perkara dugaan pengrusakan yang ditangani Polsek Wajo pun akhirnya berhenti.
“Kemudian perkara dilaporkan kembali ke Polda Sulsel dan akhirnya menetapkan Jemis sebagai tersangka. Nah dia tak terima status tersangkanya itu, sehingga ia lakukan praperadilan kembali,” terang Agus.
Penasehat Hukum Tersangka Diminta Belajar Banyak
Salah seorang anggota tim Kuasa Hukum pemilik ruko yang menjadi korban pengrusakan, Jernias Rarsina, SH. MH mengatakan perkara yang telah diputus melalui proses praperadilan dapat dibuka kembali.
Praperadilan kata Jernias, bukan perkara akhir apalagi dikatakan nebis in idem, hal itu didasari pada pasal 76 KUHP yang menyatakan perkara yang hapus atau tidak dapat dilakukan penuntutan apabila perkara tersebut telah di putuskan di persidangan berupa putusan bebas/vrjis praak, lepas dari tuntutan hukum/onslag dan putusan pemidanaan.
“Jadi kalau ada orang hukum yang beranggapan perkara praperadilan adalah perkara nebis in idem itu pendapat hukum yang salah,” kata Jernias yang juga merupakan dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKIP) Makassar itu.
Praperadilan menurutnya, hanya berkenaan dengan prosedur tata cara penanganan seorang tersangka yang diduga melakukan tindak pidana sebagai fungsi checks and balances (kontrol) terhadap prilaku atau tindakan hukum dari aparat penegak hukum dalam hal ini Polda Sulsel selaku penyidik Polri.
Sehingga putusan praperadilan tidak serta-merta menutup akses dilakukan kembali proses penyidikan terhadap seorang tersangka apabila ditemukan bukti-bukti yang cukup setelah permohonan praperadilan dikabulkan sebelumnya.
Penetapan tersangka dalam perkara dugaan pengrusakan ruko sendiri, diakui Jernias telah memenuhi syarat kualifikasi dalam hal ini alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP.
Dimana dari Pasal 184 (1) KUHAP tersebut yang dimaksud dengan alat bukti yakni keterangan saksi,keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
“Jadi penetapan tersangka sudah memenuhi alat bukti sah yang cukup sehingga perkara dugaan pengrusakan ruko layak diteruskan ke persidangan,” ungkap Jernias.
Selain itu, dalam Pasal 2 ayat 3 Perma nomor 4 Tahun 2016 dijelaskan dengan tegas bahwa putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan
tentang tidak sahnya penetapan tersangka tidak
menggugurkan kewenangan penyidik untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka lagi setelah memenuhi paling sedikit dua alat bukti baru yang sah, berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara.
“Ini yang harus diketahui dan dipahami oleh penasehat hukum tersangka. Jadi sekali lagi perkara praperadilan bukan bersifat akhir apalagi dikatakan nebis in idem,” Jernias menandaskan. (Ekha)