Kedai-Berita.com, Enrekang– Enrekang merupakan salah satu Kabupaten di Sulsel yang memiliki hamparan pegunungan yang luas. Salah satunya yang cukup terkenal yakni hamparan gunung nona bambapuang yang bentuk permukaannya mirip dengan alat kelamin wanita.
Namun dibali keunikan yang dimilikinya itu, gunung nona atau lebih dikenal oleh masyarakat Sulsel dengan sebutan Buntu Kabobong punya cerita tersendiri yang hingga saat ini masih dijaga kesakralannya.
Kakek Aswar warga asli Kabupaten Enrekang yang tempat tinggalnya tak jauh dari kaki gunung tersebut mengatakan keunikan bentuk permukaan buntu kabobong tak serta merta jadi begitu saja. Melainkan kata dia, bentuk permukaan buntu kabobong menyerupai alat kelamin wanita karena ada sebuah peristiwa yang terjadi di zaman itu.
Menurut cerita rakyat yang ada kata dia, dimana kala itu tepatnya di kaki gunung terdapat sebuah kerajaan yang disebut kerajaan Tindalun. Kerajaan tua itu hidup bersama dengan masyarakatnya dengan dukungan alamnya yang begitu subur.
Suatu ketika lanjut Kakek Aswar, munculnya sesosok anak yang wajahnya sangat tampak dan kulitnya yang putih dan bersih. Anak itu diyakini datang dari langit atau masyarakat menyebutnya dengan istilah To Mellao Ri Langi.
Anak itu pertama kali ditemukan oleh seorang ibu yang berparas cantik bernama Masaang warga dari Kampung Tindalun.
“Ceritanya, Masaang bersama masyarakat lainnya melihat ada api yang menyala disekitar kampung pada malam hari. Karena penasaran mereka mendekati sumber api tersebut dan ternyata tak jauh dari situ mendapati anak berwajah tampan tersebut ,”ucap Kakek Aswar menceritakan.
Kelebihan bentuk fisik atau masyarakat menyebutnya To Malabbi yang dimiliki anak tersebut membuat kagum Masaang dan masyarakat lainnya. Sehingga masyarakat pun membawa anak ikut bersama pulang ke kampung Tindalun dan dibesarkan oleh Masaang.
“Masaang sendiri ceritanya seorang ibu yang memiliki 5 anak namun tak tinggal bersama. Malah seorang anaknya tak diketahui dimana rimbanya atau hilang begitu saja ,”lanjut Kakek Aswar.
Selang beberapa tahun dalam pemeliharaan Masaang, anak itu tumbuh menjadi dewasa dan kemudian dijodohkan oleh putri raja dari Kerajaan Tindalun yang juga tak kalah cantiknya.
Keduanya pun memulai hidup berumah tangga dan pada akhirnya dikarunia seorang anak laki-laki yang dinamakan Kalando Palapana.
“ceritanya Kalando Palapana ini yang selanjutnya mewarisi tahta Kerajaan Tindalun. Dan ia pun memimpin masyarakat kampung Tindalun yang dikenal dengan kampung yang begitu makmur karena limpahan hasil alamnya ,”kata Kakek Aswar.
Namun dibalik kesuburan alam yang diberikan Tuhan tersebut membuat masyarakat Tindalun lupa diri. Hidup dalam keadaan hura hura bahkan prilakunya diluar dari batasan batasan norma agama maupun adat yang berlaku di kala itu.
Prilaku seks menyimpang terus mewarnai kehidupan masyarakat Tindalun. Mereka berhubungan intim diluar nikah dan melakukannya tak mengenal waktu.
“Raja sempat gelisah melihat prilaku menyimpang masyarakatnya bahkan hal negatif yang dilakukan masyarakatnya pun sudah menjangkiti salah seorang kerabat kerajaan ,”ungkap Kakek Aswar.
Karena kegelisahan terus menghantui, raja pun mengumpulkan seluruh tokoh adat dan agama kala itu untuk membahas upaya yang akan dilakukan agar masyarakat Tindalun sadar dan meninggalkan prilaku seks bebas yang ia lakukan tanpa batasan lagi.
“Meski raja sudah berusaha keras pada waktu itu, namun prilaku masyarakat semakin menjadi jadi. Tak peduli dengan perintah rajanya sendiri sehingga bencana pun datang dan meluluh lantahkan kampung Tindalun ,” terang Kakek Aswar.
Tuhan murka dan menurunkan kutukannya kepada masyarakat Tindalun. Salah satu diantaranya ada yang dikutuk menjadi bukit yang menyerupai alat kelamin wanita tersebut.
“Itulah gunung yang menghadap ke barat yang terletak di sebelah timur Gunung Nona Bambapuang yang kemudian dikenal dengan sebutan Buntu Kabobong, “kata Kakek Aswar.
Tak hanya itu, disebelahnya pun terdapat pula gunung yang bentuknya menyerupai alat kelamin pria. Dimana antara kedua gunung tersebut dipisahkan oleh sebuah anak sungai.
“Jadi begitu ceritanya yang ada. Intinya ada pesan moral dari bentuk gunung tersebut. Dimana manusia diingatkan jangan pernah melakukan hubungan seks diluar nikah karena dalam agama itu adalah dosa besar dan tentunya membuat azab datang dan itu pasti ,”Kakek Aswar menandaskan. (Kha)